41. JANGAN MERASA IRI

434 70 0
                                    

Pembicaraan serius di antara keempatnya masih berlanjut hingga Adam mengutarakan hal penting lainnya untuk putra ketiganya tersebut.

"Karena kamu masih harus menyelesaikan pedidikan khusus advokat kamu, sedangkan setelah menikah tanggung jawab sepenuhnya ada di tanggan kamu, jadi Papa sama Mama udah sepakat buat buka cabang toko kue sesuai yang udah pernah Papa sama kamu bicarakan. Cabang yang akan dibuka ini seratus persen akan jadi tanggung jawab kamu sejak awal pembangunan, tapi Papa nggak akan lepas tangaan begitu aja, Papa tetap akan dampingi." Jelas Adam penuh wibawa.

"Sebelumnya makasih Pa, Ma tapi aku mau usaha sendiri, sesuai yang aku mampu dan juga keinginanku." Balas Hilal.

"Papa tau kalau keinginan kamu sekarang cepet-cepet jadi Pengacara, tapi Nak, di saat sudah tumbuh dewasa kita itu nggak boleh egois sama diri sendiri, ada kalanya memang untuk bertahan hidup kita harus melakukan hal yang bukan passion kita."

"Apa nggak bakal menimbulkan hal yang nggak diinginkan nantinya? Apa aku terlalu dimanja?" Tanya Hilal, menatap ketiga orang yang paling tua di keluarga ini.

"Jangan khawatirin itu, Kakak-Kakak dan Adik kamu udah ada porsinya masing-masing, Papa dan Mama nggak mungkin pilih kasih ke kalian semua. Papa dan Maam bakal bantu anak-anak kita saat kesusahan, saat kalian butuh bantuan meskipun tanpa kalian bilangpun, kita tau mana saat-saat yang tepat harus ngasih hak kalian, lagipula dari kalian semua kecil sampai sekarang, Papa nggak pernah lihat di antara kalian saling iri, kalian itu anak-anak pinter kebanggaan Papa sama Mama, jadi nggak mungkin bakal saling iri ke sesama saudara." Adam berkata demikian bukan hanya untuk menenangkan Hilal, karena jujur semua anaknya memang seperti itu, mereka tumbuh dengan semestinya.

Hilal terdiam sebentar, meresapi dan memikirkan apa yang sudah Adam katakan.

"Bismillah Pa, aku bakal coba buat nerusin bisnis Papa, dan aku minta bimbingannya." Ucap Hilal pada akhirnya sambil menatap mata Adam dengan serius, membuat pria di depannya itu tersenyum lega.

"Pasti Papa bantu." Balas Adam sambil tersenyum pada putra ketiganya tersebut.

Mungkin ini awal yang baru, selama ini Hilal terlalu fokus dengan mewujudkan impiannya dan menjalankan amanat Adam hanya dengan semestinya tanpa memikirkan lebih lanjut.

Dirinya lupa jika segala hal bisa terjadi, bisa saja impiannya hanya akan menjadi angan untuk selamanya. Jadi untuk saat ini tidak ada salahnya untuk membuka jalan lain, selagi dirinya masih dalam proses mewujudkan mimpinya.

•••

10:00

Di bawah langit cerah di pagi menjelang siang hari ini, masih dengan perasaan yang sama Hilal dan Arabella bersama di atas motor matic yang dikendarai laki-laki itu.

Tadi semenjak pagi di hari sabtu ini, Hilal sudah menghabiskan dua jam untuk mengobrol dengan kedua orangtua kekasihnya, lebih khususnya bersama Danish, dari membicarakan hal serius sampai rencana-rencana yang tidak terlalu penting pun tidak luput dari topik pembahasan mereka.

Setelah puas mengobrol, Hilal meminta izin pada pria berstatus Papa dari Arabella itu untuk mengajak anak gadisnya makan siang di luar.

"Aku nggak ngasih tau Mama kalau mau ajak kamu ke sini." Hilal membelokkan motornya saat sudah sampai di parkiran restoran Mamanya.

Setelah motor Hilal benar-benar berhenti disusul dengan suara mesin yang dimatikan, barulah Arabella turun.

"Mama pasti seneng. Udah lama juga kan kamu nggak ke sini." Ucap Hilal sambil melepaskan pengait helm yang dipakai Arabella, lalu melepaskannya dari kepala gadis itu.

HILALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang