18. HIDUP ITU PILIHAN

535 78 2
                                    

Di hari minggu bukanlah waktu yang tepat untuk bangun tidur lebih awal, biasanya atau lebih banyak orang menghabiskan hari minggu mereka untuk beristirahat lebih lama. Namun tidak bagi Hilal, dirinya bangun lebih awal hari ini untuk bersiap-siap pergi.

Tapi rencana cuma tinggal rencana. Tadi pagi Hilal mendapatkan pesan balasan dari Arabella jika dirinya hari ini ingin istirahat tanpa ada yang menjenguk. Tentu saja Hilal merasa aneh dan memutuskan langsung untuk meneleponnya agar lebih jelas.

Arabella bilang jika hari ini akan ada pemeriksaan dari Dokter Edwin jadi dirinya ingin istirahat dan tidak ingin diganggu. Hilal mencoba untuk memahami meskipun biasanya pemeriksaan bukanlah sebuah hal yang spesial.

"Udah mandi, nggak jadi pergi?" Tanya Ghina sambil duduk di samping putranya tersebut.

Hilal menurunkan ponselnya dari hadapan wajahnya, menoleh ke arah Ghina sambil cemberut.

"Nggak jadi, Ara mau istirahat katanya." Jawab Hilal.

"Ya udah biarin dulu, mungkin Bella butuh waktu buat sendiri." Balas Ghina sambil menepuk pipi Hilal pelan. Ternyata meskipun bukan anak-anak lagi tapi wajah cemberut Hilal masih tampak menggemaskan.

"Iya aku paham kok, Ma."

"Pinter. Perempuan jangan dikekang atau ditanyain terus kalau bukan hal yang besar, yang penting udah saling tukar kabar kan?" Ucap Ghina sedikit menasihati.

"Udah kok, Ma. Aku juga nggak mau ngekang tapi tetep aja aku nggak nyaman kalau kayak gini." Balas Hilal.

"Bucin banget sih anak Mama, sehari nggak ketemu langsung galau." Ghina mengucapkan dengan gemas.

"Nggak apa-apa bucin yang penting awet, jangan bucin awal pacaran doang abis itu bosen. Aku kan nggak pernah bosen." Balas Hilal lalu melingkarkan kedua tangannya di perut Ghina, dan setelahnya menumpuhkan kepalanya di pundak kiri Mamanya tersebut.

"Beneran nggak pernah bosen? Kamu pacaran pertama baru sama Bella, udah tujuh tahun juga, masa nggak pernah ngerasa bosen, atau pengen coba suasana baru kayak remaja-remaja lain?" Tanya Ghina sambil mengelus rambut Hilal dengan tangan kanannya.

"Mau nyari yang kayak gimana lagi sih, Ma? Kalau aku punya cewek baru bakal makin ribet, harus mulai semua dari awal, aku harus ngerti dia kayak gimana, dia juga harus ngerti aku, kebiasaan aku, sifat aku, sebaliknya juga gitu. Udahlah pokoknya makin ribet, jadi meskipun aku punya masalah sama Ara, mau dia marah, aku yang marah atau salah paham, aku nggak mau pisah, pokoknya nggak mau, mending harus debat atau ngalah daripada bubar." Jelas Hilal panjang lebar.

Jelas bagi Hilal lebih baik mengalah meskipun tidak salah daripada masalah menjadi semakin besar. Hilal tidak mau putus, ataupun perempuan baru, cukup Arabella.

"Bener, itu pemikiran dewasa yang harusnya banyak ditanamkan di diri semua orang supaya putus atau lebih parahnya perceraian nggak bakal terjadi." Balas Ghina, lalu menaruh jari telunjuknya di dagu Hilal, mengarahkannya ke atas membuat anaknya tersebut mendongak."udah ganteng, pinter, dewasa lagi anak Mama ini belajar dari mana?" Tanya Ghina dengan nada menggoda.

"Belajar dari Papa." Jawab Hilal sambil tertawa.

Ghina ikut tertawa lalu mendaratkam satu kecupan di dahi putranya itu dengan sayang. Hanya Hilal putranya yang mau bermanja-manja dengannya seperti ini, dulu Dean juga tapi semenjak berada di perguruan tinggi sudah tidak pernah mau lagi bersikap manja, apalagi Juan tidak pernah sama sekali, anak kedunya itu sangat kaku, padahal kalau mau suka tersenyum wajahnya sangat manis sekali.

"Apa nih bawa-bawa Papa?" Tanya Adam setelah masuk ke rumah, lalu ikut mendudukkan dirinya di samping kiri Hilal."lengket banget sama Mama. Tumben kamu hari minggu di rumah?" Tanya Adam sambil ikut mengelus kepala Hilal.

HILALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang