30. Responsibility 🎯

1K 89 28
                                    

Jejak komen penyemangat dong.”

💦

“Lain kali, kalo mau dinner sama teman kantor, motornya jangan ditinggalin. Kita masih belum tau, penjagaannya aman atau enggak. Semoga aja motor kamu masih ada di sana,” ujar David seraya menerima helm yang diserahkan sang istri. Manik hazel-nya terus mengamati penjuru perusahaan yang kini menjadi tempat istrinya bekerja.

“Hehehe.” Samantha terkekeh sembari mengusap rambut si sulung. “Belajar yang rajin ya, Nak. Teman-temannya disayang, jangan dinakalin.”

“Siap, Ma!” Cleo memberi hormat pada sang mama. Sejak Samantha sibuk menjabat sebagai sekretaris, tugas antar jemput Cleo diambil alih oleh David. “Cleo boleh gak, main ke kantor mama?”

“Boleh, sayang.” Samantha membungkukkan badannya seraya menatap iris abu Cleo. Kontan, anak lelaki itu bersorak kegirangan. Ia kembali menegakkan tubuhnya, lalu berucap, ”Gih, berangkat. Nanti telat loh.”

Kunci motor diputar ke kanan, jarum spidometer bergerak bersamaan dengan menyalanya mesin motor. Sebelum melesat pergi, Samantha sempat menyalimi suaminya dan memberikan kecupan singkat di pipi David dan Cleo. “Aku pergi dulu, ya,” pamit David.

Anggukan adalah jawabannya. Samantha melambaikan tangan ketika matic hitam itu mulai bergerak menjauh. Kini, kaki jenjangnya melangkah tegap memasuki kantor yang dipadati para karyawan.

Sementara, di seberang jalan, sepasang iris abu terus mengamati seluruh gerak-gerik sekretaris barunya, lantas fokusnya beralih pada cengkraman setir kemudi yang erat. Ia menggeram. Kejadian itu tak seharusnya dilihat, atau lebih tepatnya ... seharusnya ia yang berada di sana, bukan David.

Perang batinnya buyar ketika ponsel di atas dashboard itu berdering. Diraihnya ponsel dengan tiga kamera di belakang, kemudian membaca nama si penelepon. Teringat dengan agenda hari ini, lantas ia menginjak pedal gas, memasuki basement untuk memarkirkan mobilnya.

“Pak Dewa!” Fahri sedikit berlari menghampiri Sadewa yang turun dari mobil, lalu dengan sigap membawakan tas jinjing lelaki itu. “Maaf, saya tidak bisa jemput Bapak—”

“Gak masalah,” potong Sadewa. Ia berjalan dengan cepat, memasuki pintu penghubung gedung menuju lift di sisi kanan.

Lift yang berada di lantai dua, kini bergerak turun. Tiga orang yang ada dalam lift itu seketika menunduk hormat melihat sosok si bos yang berdiri di hadapannya. Lelaki itu pun masuk, diikuti Fahri dan lift bergerak naik ke lantai tiga, kemudian empat.

Para karyawan yang melihat kedatangan Sadewa, langsung memberikan sambutan yang beragam, mulai dari sapaan selamat pagi, menanyakan kabar sampai apakah tidur lelaki itu nyenyak. Ada saja cara mereka menarik perhatian si bos. Namun, sayangnya lelaki berparas tampan itu justru abai dan terus berjalan dengan angkuh.

Pintu kaca terbuka otomatis, Sadewa melangkah menuju ruangnya. Ekor matanya menangkap sang sekretaris yang bangkit dari duduk dan membungkuk memberi hormat.

Fahri yang sedari tadi mengamati sikap Sadewa pun bingung, tak biasanya si bos bertingkah seperti itu. Hanya ada dua hal jika Sadewa bersikap dingin; faktor masalah pekerjaan atau rumah tangga.

Fahri meletakkan tas jinjing berbahan kulit kualitas mewah di sofa, lalu menghampiri Sadewa yang termenung dengan tatapan kosong. “Ada masalah, Pak?” tanyanya dengan hati-hati.

Helaan napas berat diembuskan, Sadewa menyandarkan punggungnya dengan mata terpejam. “Ternyata gini ya, rasanya sakit karena dikhianati.”

Kening Fahri sontak mengerut, ia dapat menangkap sinyal bahwa si bos sedang dalam suasana hati yang tidak enak. Sebenarnya, ia tidak ingin bertanya lebih dalam, takut menyinggung perasaan Sadewa, namun .... “Bu Rachel selingkuh?”

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang