32. No Rejection ❌

791 80 16
                                    

Kalau bisa baca cerita ini, berati bisa vote dan komen juga dong.

"Gimana persiapan acara besok?" tanya Sadewa pada sosok di seberang. Manik abunya berbinar tatkala mendengar jawaban yang dinanti sejak beberapa bulan terakhir, senyum puas mengembang di bibirnya. "Saya mau menyaksikan proses launching gerai kelima kita. Saya minta, kalian persiapkan semua dengan baik, jangan sampai ada masalah, sekecil apapun itu."

"Baik, Pak Dewa." Berbarengan dengan jawaban tersebut, Sadewa langsung memutus sambungan telepon. Jemari yang sedari tadi memainkan bolpoin hitam, kini beralih mengetuk-ngetuk meja, sementara tangan kiri menopang dagu.

Meskipun target utama tahun ini membuka cabang di kota baru telah terpenuhi, tapi masih ada hal yang mengganggu pikirannya. Tombol telepon kabel ditekan, dan tersambung ke telepon sang sekretaris. "Masuk."

Samantha mengetuk pintu dua kali, lalu masuk setelah diizinkan si bos. Ia berjalan dengan ragu menghampiri Sadewa yang duduk di kursi kerja. Lelaki itu menopang dagu dengan dua tangan dan menatapnya dengan intens. "Minggu depan, kosongkan jadwal, temani saya ke acara launching cabang di Yogyakarta."

"Hah?"

"Kenapa? Gak mau?"

Samantha menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung, bagaimana izin ke David untuk melakukan perjalanan ke luar kota?

Sadewa menyandarkan punggungnya. Ia melonggarkan ikatan dasi, mengamati Samantha dari atas ke bawah. "Saya kasih uang lembur, segera siapkan untuk keperluan besok."

"Kalau suami saya gak kasih izin, gimana?" tanya Samantha dengan ragu-ragu.

Senyum simpul tersungging di bibir Sadewa. "Ini bukan pilihan, tapi kewajibanmu sebagai sekretaris. Siapa lagi yang bisa handle ini kalau bukan kamu?"

"Hm, Pak Fahri?" Samantha menyahut dengan pelan, namun masih bisa didengar Sadewa. Posisi berdirinya mulai tidak nyaman, bukan karena heels 6cm yang dipakai saat ini, tetapi otak dan batinnya sedang menyiapkan segala cara agar mendapat izin pergi dari sang suami.

Sadewa beranjak dari duduknya, kemudian bersandar di meja, di sebelah Samantha. Ia menyentuh dagu wanita itu, mengarahkan wajah cantik tanpa polesan menor untuk ditatapnya, lantas berucap, "Takut sama suami, ya?" tanyanya dengan nada meremehkan.

Samantha langsung menepis tangan Sadewa, dan menjaga jarak agar lelaki itu tak berbuat hal nekat terhadapnya. "Kenapa gak cari partner lain? Aku gak bisa ninggalin keluarga, anakku yang kecil juga masih butuh ASI," racaunya, tanpa sadar kini gaya bahasanya berubah menjadi aku-kamu.

Alis yang saling tertaut, menunjukkan Sadewa mulai tertarik dengan topik bahasan ini. Ralat, lawan bicara lebih tepatnya. Ia mengubah posisi menjadi berdiri di belakang Samantha, tangannya mengusap lembut lengan yang terbalut blazer pink muda, lalu naik ke pundak, dan menyibakkan rambut yang tergerai.

Samantha merasa semakin tak nyaman, namun tubuhnya terlanjur dikungkung, terlambat baginya untuk melarikan diri. Kini, ia hanya pasrah, berharap kejadian beberapa hari lalu tak terulang kembali.

"Aku yakin, David bakal kasih izin. Toh, urusannya jelas, untuk kerjaan. Lagipula, cuma dua hari kok." Sadewa berbisik di telinga Samantha. Suara yang sangat khas berhasil membuat jantungnya berdegup tak keruan, apalagi tangan Sadewa melingkari pinggang dan bermain-main di leher jenjangnya.

Samantha berusaha menepis sentuhan-sentuhan itu, tapi dengan satu gerakkan ... Sadewa berhasil membalikkan tubuhnya. Kini, keduanya saling berhadapan dengan jarak cukup dekat. Sadewa menyentuh pantat sekal Samantha dan mendudukannya di meja. Dikungkungnya tubuh ramping meskipun telah melahirkan dua anak itu, seraya mengamatinya yang tampak gelisah.

"Plis, jangan lakuin ini," ujar Samantha dengan lirih. Ia masih menghindari Sadewa yang berusaha mengecup bagian sensitifnya. "Hubungan kita sebatas rekan kerja, gak lebih ...."

Sadewa menghentikan aksinya sejenak, memiringkan kepalanya-menatap Samantha yang terus menunduk. Ia menyentuh dagu lancip itu, agar menengadah menatapnya. "Remember that i hate rejection, right?" tanyanya disertai senyum maut. "Kalo gak mau aku berbuat nekat, kamu tau kan, apa yang harus kamu lakuin?"

"Dewaaa-" Samantha mendesah berat. Namun, suaranya justru mengundang hasrat bagi lelaki di hadapannya. Sontak, hal yang tak diinginkan pun hampir terjadi, jika saja telepon kabel tersebut tidak berdering. Seiring dengan itu, langkah kaki terdengar mendekat, lantas keduanya pun saling bertukar pandang.

Ceklek! Pintu terbuka, wanita berparas ayu melenggang masuk seraya menggenggam mini clutch silver. Kacamata hitam diletakkan ke atas kepala, wajahnya muram. Ia langsung memeluk sang suami dengan erat. "Sayang, i'm in a bad mood."

"What's wrong?" jawab Sadewa sambil mengusap punggung yang terbuka dengan belahan dress di bagian belakang. Ia menggiring Rachel duduk di sofa, menjauh dari meja kerjanya.

Rachel bersedekap dada lalu menghempaskan punggung di sandaran sofa. "Tadi waktu aku jemput Chloe, aku lihat dia nangis. Pasti, si anak nakal itu nyakitin Chloe."

"Anak nakal?" Sadewa menaikkan satu alisnya. "Siapa?"

"Cleo!" sahut Rachel sambil bersungut. Matanya melotot, seakan kemarahan yang sudah dilampiaskan pada bocah kecil itu masih belum cukup baginya.

"Emang kamu punya bukti kalau Cleo penyebab Chloe nangis?" tanya Sadewa dengan penuh selidik.

Helaan napas berat diembuskan, ekspresi kesal kian terpancar di wajah Rachel. "Yakin banget deh, pasti Cleo mewarisi sifat ibunya yang bermasalah itu."

"Kamu ke sini cuma mau jelek-jelekin Samantha?" potong Sadewa. Rahangnya mengeras, ada rasa tidak terima atas tuduhan tak berdasar yang dilakukan sang istri. "Kalau terbukti Cleo bikin Chloe nangis, itu karena dia mewarisi sifatku yang troublemaker, karena darahku mengalir dalam tubuh dia!” lanjutnya dengan nada meninggi. “Jadi, jangan pernah kamu menuduh atau menjelek-jelekkan Samantha atau Cleo, atas asumsi pribadimu itu!"

Rachel terbelalak melihat kemarahan Sadewa. Niatnya ingin melampiaskan kekesalan, eh ... malah semakin dibikin kesal. "Kenapa kamu belain dia?!"

"Bicara fakta itu prinsipku! Kalau kamu gak punya bukti, jatohnya fitnah!" Sadewa menunjuk wajah Rachel beberapa kali, kemudian bangkit dari duduk seraya berkacak pinggang.

Tak terima dengan perlakuan Sadewa, Rachel pun ikut beranjak. "Oh, jangan-jangan kamu masih menyimpan rasa untuk Sam?" tanyanya menuduh. "Awas aja, ya. Aku bakal nekat, kalau tau kamu masih berhubungan sama dia!"

Berakhirnya obrolan itu ditutup dengan bantingan pintu yang cukup keras. Sadewa menghela napas berat. Manik abunya menangkap sosok yang keluar dari bawah kolong meja. Raut wajah wanita itu tak dapat digambarkan, yang jelas ... semua obrolan mengenai tuduhan anaknya dapat didengar jelas olehnya.

Sadewa melangkah mendekat. "Sam, maafin Rachel," ujarnya dengan lirih.

Langkah Samantha tampak gontai, seperti kehilangan kekuatan untuk bertumpu pada dua tumitnya. Manik hitamnya menatap nanar ke arah Sadewa. "Dulu aku yang difitnah, sekarang anakku," gumamnya dengan senyum getir. "Seandainya waktu bisa diputar, aku berharap Cleo gak lahir di waktu yang salah."

A/N: ups, no comment.
Rachel semakin menyebalkan 😭

.

Apa yang mau kalian sampaikan tentang chapter ini?

Yok, jawab.

.

Published: 22 Mei 2021

Love,

Max

Klik 🌟, ya!

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang