66. Forgive, not forget 🙂

1K 75 48
                                    

Praaang!
"Aaaaahhh!" Jeritan menggema, menyadari kecacatan yang dialami. Menu yang disediakan rumah sakit, tercecer di lantai bersamaan dengan kepingan kaca dari piring dan mangkok yang dihempas begitu saja oleh Rachel.

Thomas beranjak, habis kesabaran mengurus anak semata wayangnya. Manik birunya mengamati ceceran nasi dan lauk, beserta kuah sayur yang sama sekali belum menyentuh lambung anaknya.

"Rachel ...." Thomas memanggil, lirih sekali. Tidak kuat melihat kekacauan sang anak, termasuk membayangkan masa depan yang dihancurkan oleh tindakan bodohnya.

"Enggak!" Rachel menghempas meja portable sebagai alas meletakkan peralatan makan, lalu menekuk kedua kakinya seraya menutup telinga. "Aku gak mau buta!"

Tangisnya menyayat hati, kepalanya tertunduk dalam-dalam ke lipatan kaki, rambutnya acak-acakan akibat diusak beberapa kali. Rachel tidak siap menerima kenyataan bola mata kirinya telah tiada, akibat tembakan papanya. Ia memukuli lututnya, meremas selimut, dan menghentakkan kedua kaki hingga membuat ranjang itu bergerak menimbulkan derit.

"Kenapa Papa gak bunuh aku aja?" Rachel menatap benci ke arah Thomas. Matanya berair dan kemerahan. "Papa masih bawa pistol, kan?" Ia menarik jaket kulit yang dikenakan Thomas, otomatis lelaki itu mendekat ke arahnya. "Bunuh aku, Pa! Tembak kepalaku sekarang!"

Thomas tak bergeming. Tangannya terkepal, biasanya ia tidak pernah meleset dalam hal menembak, tetapi kesalahannya itu berakibat fatal pada anaknya sendiri. Ironis, memang. "Maafkan, Papa." Hanya kata itu yang dapat terucap dari mulutnya.

Rachel terus merengek, menarik-narik jaket kulit Thomas, lalu kehabisan tenaga dan bersandar di tubuh lelaki itu. Ia tumpahkan segala kesedihan dan kehancuran atas karma yang menegurnya terhadap tindakan kejinya pada keluarga tak berdosa, yang bahkan sama sekali tidak pernah mengusiknya.

"Aku gak mau butaaa!" Rachel kembali menjerit, tangannya menyentuh mata kiri yang dibalut perban, berusaha meyakinkan bahwa ini adalah mimpi. Mimpi buruk yang diharap segera berakhir.

"Kenapa ini harus terjadi sama aku?" tanyanya dengan frustrasi, bola mata kirinya memang tidak ada lagi di tempat semula. Saat operasi ... dokter terpaksa mengambil bola matanya yang rusak dan tidak berfungsi lagi.

Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Rachel menegakkan posisi tubuhnya, memfokuskan pandangan yang mengabur. Thomas turut mengamati perempuan yang hadir di antara mereka, sedetik kemudian manik birunya membulat menyadari sosok itu tidak asing baginya. "Kamu?!"

"Sam?" Suara Rachel bergetar, tidak siap jika harus bertemu dengan sang rival di waktu yang tidak tepat. Atau memang ia tidak siap sama sekali untuk menemui perempuan itu.

Samantha menunduk, memberi salam hormat kepada Thomas. Sejujurnya, ia ngeri melihat perawakan Thomas yang tampak seperti mafia, dengan jambang di sekitar pipi dan pakaian serba hitam.

Rachel menarik tangan Samantha dan mendekap tubuhnya. Menangis sejadi-jadinya, hingga membasahi baju bagian belakang Samantha akibat air mata yang jatuh dengan derasnya. "Aku ngelakuin banyak salah, aku minta maaf."

Samantha memejam, dua tangannya bergerak membalas dekapan itu seraya mengusap punggung Rachel. Sebenarnya, ia belum mampu berhadapan dengan sosok yang hampir saja merenggut nyawanya, namun setelah mendengar penjelasan Sadewa, ia minta dipertemukan dengan Rachel. Lantas, di sinilah ia berada, satu ruangan dengan seseorang yang begitu membencinya, yang bisa dengan mudahnya kembali menjalankan aksi untuk menikamnya.

"Aku yang udah jebak suami kamu, aku juga yang—" ucapan Rachel terhenti, bersamaan dengan suara Samantha yang berusaha menenangkan. "Maafin aku, Sam."

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang