41. Finding a way out ☠️

607 54 33
                                    

Kalo author update terus, readers juga mengimbangi dong, dengan vote dan comment. Supaya cerita ini tidak tenggelam.

Bekas luka di wajah David, mulai mengering, menimbulkan tekstur kasar merah kehitaman penanda bahwa kulitnya sedang regenerasi. Sudah tiga hari ia absen dari pekerjaan, dan kini kembali aktif menjalani hari seperti biasa. Luka dan rasa sakit di sekujur tubuh tak menjadi penghalang, karena semakin lama absen, maka gajinya akan dipotong setiap harinya. Kalau begitu terus, saat gajian, bisa-bisa ia tak menerima sepeser pun.

Pagi ini, setelah sarapan, David melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Kewajiban dan tanggungjawab sebagai kepala keluarga, membuatnya bersemangat. Apalagi, suasana di rumah ada yang berbeda, Samantha memutuskan untuk tidak mencari pekerjaan baru. David memintanya untuk menjaga Freya, karena sejak bekerja, waktunya berkurang untuk sang buah hati dan keluarga. Kata David, “Sekarang, biar aku yang kerja, kamu di rumah aja, ya. Jagain anak-anak, karena sejatinya ... kewajiban bekerja adalah tugas dan tanggungjawab suami, bukan istri.

Sempat tidak setuju dengan titah David, namun Samantha langsung mengiakan ketika suaminya berkata, “Kita udah gak punya utang, debt collector juga gak akan teror lagi. Kamu gak perlu merasa terbebani dengan kewajiban kerja, biar aku yang cari cara untuk menutup utang ke Dewa.”

Terbesit pikiran tentang kedekatan sang istri dengan masa lalu, membuat David tidak nyaman. Namun, tak dipungkiri, kini  ia justru berutang budi pada Sadewa yang telah menyelamatkan nyawanya, juga keluarganya. Meskipun, ia takut jika hal ini membuka kesempatan bagi Sadewa untuk merebut Samantha darinya.

Helaan napas berat diembuskan, pandangan David menatap kosong pada lembaran kertas di meja kerjanya. AC yang disetel suhu rendah di ruangan berukuran sedang, masih tak terasa dingin, membuatnya cukup berkeringat.

“Dave!” panggil Rara, dari arah belakang seraya menepuk pundak rekan kerjanya. Sontak, David pun menoleh dengan tatapan penuh tanya. “Lo dipanggil Bu Eli, disuruh ke ruangannya.”

“Hah?” Satu kata terlontar dari mulut David. Perasaannya tak enak, ada apa gerangan si bos memanggilnya? Apakah ia melakukan kesalahan? Atau hanya karena izin tiga hari, sudah diberi surat peringatan? Tanyanya tak mendapat jawaban dari Rara, lantas ia bergegas menuju lantai tiga di gedung tersebut, tepatnya di sebelah anak tangga.

Bicara mengenai kantor David, tak terlalu besar karena hanya cabang, letaknya pun tak terlalu strategis, namun cukup sering didatangi pengunjung yang hendak membeli motor dan mobil. Gedung tersebut terdiri dari tiga lantai, penghubungnya berupa tangga, tidak ada lift, oleh karena itu banyak karyawan yang mengeluh ketika harus naik turun tangga.

“Permisi,” ucap David ketika mengetuk pintu bercat putih, dan membuka kenopnya dengan perlahan. Wanita berumur hampir setengah abad itu mendongak, kacamatanya turun di batang hidung. David segera masuk setelah diberi isyarat lalu menunduk memberi hormat. “Ibu memanggil saya?”

Bu Eli melepas kacamatanya, kemudian melipat kedua tangan di atas meja seraya melirik ke kanan. “Hari ini, ada customer beli mobil serie Z, secara tunai,” ujarnya seraya menunjuk koper di sofa. “Bisa kamu bawa ke bagian keuangan?”

David meneguk salivanya dengan kasar, pandangannya tak lepas dari koper besar berwarna silver, seraya membayangkan berapa ratus juta yang ada di dalamnya, sementara ia tahu, mobil serie Z tersebut seharga empat ratus juta rupiah.

“Dave?” panggil Bu Eli, membuat David tersentak dari lamunan. “Bawa ke bagian keuangan untuk disimpan sama Nia.”

Sontak, David mengangguk beberapa kali, kemudian bergegas menarik gagang koper itu. “Baik, Bu.”

Bu Eli tersenyum simpul, sorot matanya datar, namun seperti menyembunyikan sesuatu. Itulah yang membuat banyak karyawan takut berhadapan dengannya, karena ia dianggap seperti pembunuh berdarah dingin, sikapnya tak terlalu ramah dan terkesan diktator.

“Saya permisi, Bu,” ujar David seraya menutup pintu dengan perlahan dan menggeret koper tersebut menuju lantai dua, tempat di mana bagian keuangan berada. Namun, seketika langkahnya terhenti, ia kembali menatap koper yang berada dalam jangkauannya.

Ingatan tentang kejadian tempo hari, dan konsekuensi jika berlarut-larut memiliki utang budi terhadap Sadewa. Ia bisa apa? Mengumpulkan uang sejumlah utangnya, butuh berapa puluh tahun? Apa itu artinya, ia dan Samantha akan terus berada dalam bayang-bayang Sadewa?

Helaan napas berat diembuskan, David mengusap wajahnya sambil menepis pikiran buruk yang menghantui. “Jangan gila, Dave,” gumamnya dengan senyum getir. “Lo gak mungkin berani lakuin ini,” lanjutnya dengan lirih, seraya mengamati genggaman gagang koper tersebut.

👾

A/N: semangat nulis, biar cepat ending.

Ayooo komen yang banyaakk

Published: 11 September 2021

Love,

Max

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang