50. Looking for help 🏩

718 75 43
                                    

Banyak yang bilang saya gak adil ke Samantha 🤧 karena di series pertama dan kedua, dia cukup bahagia. Kalo bahagia terus, terlalu drama dong ✌

“Sam ....” Sadewa berjalan mendekati sosok yang tak sadarkan diri di ranjang ICU. Paska keributannya dengan Fahri, ia memutuskan ke sini, menemani Samantha yang kini tidak memiliki siapa pun, kecuali dirinya.

Dipandangi wajah pucat tanpa polesan serta beberapa anggota tubuh yang terdapat luka dan memar, akibat benturan keras body mobil dan aspal.

Sadewa meringis pilu, tak menyangka nasib Samantha begitu menyedihkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sadewa meringis pilu, tak menyangka nasib Samantha begitu menyedihkan. Andaikan dulu ia tak berulah dan menepati janji menikahi wanita itu, mungkin hidup keduanya akan baik-baik saja.

Selimut cokelat ditarik Sadewa untuk menutupi kaki kanan Samantha yang terasa dingin. Sentuhannya beralih pada lengan yang terdapat memar, lalu mengusap punggung tangan sedingin es itu dengan lembut. “Gue di sini, Sam. Gue gak akan tinggalin lo lagi.”

Jantung Sadewa berdebar kencang, meskipun berusaha positive thinking, namun trauma akan masa lalu kembali terbesit di ingatannya. Ia duduk di bangku yang di sediakan di dekat ranjang, kemudian menciumi tangan Samantha beberapa kali seraya memberikan embusan napasnya yang hangat.

Permintaan maaf terus terlontar dari bisikan Sadewa, karena ia lalai mengawasi perilaku Rachel yang sangat di luar batas, dan mengakibatkan nyawa si pemilik hati berada di ambang kematian.

Air mata bercucuran, menandakan bahwa Sadewa benar-benar menyesal telah menorehkan banyak luka di hati Samantha. Memang, penyesalan selalu datang terlambat. Tapi, kali ini ... dari lubuk hati yang terdalam, ia ingin memperbaiki keadaan dan diberi kesempatan kedua.

Jarum jam dinding mengarah ke angka 14.00 WIB, sementara Samantha masih belum sadarkan diri. Seketika, Sadewa teringat  ucapan Dokter Adi, ia harus segera mencari pendonor jantung guna menyelamatkan Samantha. Kontan, dirinya beranjak pergi seraya mengetik sesuatu di layar ponsel berukuran 5,3 inchi itu. “Halo, Dok. Apa kabar?”

Ya, halo Dewa. Kabar saya baik. Ada apa nih, tumben telepon?” tanya seorang dokter lelaki bersuara lemah lembut di seberang sana.

Sadewa duduk di bangku depan ruang ICU. Sudah lama tak komunikasi dengan dokter yang dulu sempat ia maki-maki, karena ketidakmampuannya menerima kenyataan bahwa Bella tidak dapat diselamatkan. “Dokter Vino,” panggilnya dengan lemah, matanya memanas, pertanda sebentar lagi buliran air jatuh di pipinya. “Tolong bantu saya ....” Tepat di akhir ucapan, isak Sadewa pun pecah.

Dokter Vino kebingungan, ia memberi jeda sesaat bagi mantan pasiennya untuk menenangkan diri, kemudian bertanya dengan sangat hati-hati. “Ada masalah apa, Nak?” tanyanya. Dokter Vino kini berusia empat puluh tahun, sedari awal ia menganggap Sadewa seperti anaknya, apalagi kondisi bocah lelaki yang ditemuinya dahulu berusia 16 tahun, seperti orang kehilangan arah. Wajar saja, saat itu Sadewa benar-benar hancur ditinggalkan cinta pertama.

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang