56. Sacrified 🥀

759 78 48
                                    

Apa yang kalian harapkan dari akhir cerita ini?

"Dewa, kamu mau bawa aku ke mana?" Perasaan mulai tak enak, karena pertanyaan penting yang dilontarkan, tak kunjung dijawab. Bik Ririn pun ikut penasaran, namun suasana di ruang rawat inap mendadak hening, hingga akhirnya ... atas izin dokter, Sadewa mengajak Samantha ke suatu tempat.

Tiang infus didorong pelan mengikuti langkah kaki Samantha, di kanan dan kirinya terdapat Qiana dan Vanilla yang mendampingi, serta, Awan, Senja dan Romeo mengikuti dari belakang.

Sadewa mengambil kendali menjadi penentu ke arah mana mereka akan singgah, lalu ... tak membutuhkan waktu lama, mereka telah sampai di depan ruang yang pintunya terbuat dari besi. Sadewa mengetok pintu itu, seorang lelaki berseragam biru ciri khas rumah sakit langsung keluar dengan masker biru yang menempel di wajahnya. "Ada yang bisa dibantu, Mas?"

Sadewa maju selangkah, berbisik di telinga lelaki itu, kemudian mereka dipersilakan masuk. Samantha semakin gugup, baju yang dikenakan sangat tipis, sehingga ruangan yang terdapat banyak alat pendingin bersuhu rendah sukses menusuk kulitnya. Peka dengan gerak-gerik Samantha, Sadewa pun melepas jaketnya dan disampirkan ke pundak Samantha.

Netra Samantha terus berpendar, banyak kabinet berukuran besar yang terbuat dari besi, ruangan di sini baunya menyengat, seperti bau kapur barus dan obat-obatan yang digunakan untuk mengawetkan sesuatu. "Dewa, ini tempat apa?"

Qiana dan Vanilla mendekap Samantha dari samping, seraya menunggu petugas membuka salah satu kabinet, lalu menarik sesuatu dari dalam. Semua atensi terpaku pada sesuatu yang dibungkus dengan kain putih.

Samantha mendekat, tangannya yang gemetar dipaksakan untuk memberanikan diri menyibak kain itu, dan ... sedetik kemudian hatinya mencelos. Matanya terbelalak, refleks ia mundur beberapa langkah dan menjerit ketakutan. "Aaaahh ... hhh."

Tenggorokannya tercekat, seperti tak ada udara yang bisa masuk ke paru-paru. Samantha shock, kontan ia limbung, tangisnya pecah dan menggema di penjuru ruangan. Ia berusaha untuk menghela napas, namun terasa sesak. Qiana dan Vanilla langsung menenangkannya. "Ini gak nyata, kan?"

Vanilla menggeleng lalu tertunduk, sementara Qiana terus mengusap punggung Samantha dan ikut hanyut dalam tangis. "Jawab aku, Nill!"

"Sam—" Qiana tak kuasa bertukar pandang dengan manik hitam yang menatapnya penuh kepedihan.

"Itu bukan David, kan, Qi?" pekik Samantha, menanti jawaban namun tak ada yang lekas menjawab. Dipandanginya Sadewa yang sedikit memberi jarak, sementara Awan dan Senja menatapnya iba.

Samantha bangkit, menghampiri Romeo, membuat infus yang terhubung di tangannya terdapat darah akibat terlalu banyak pergerakan.

Qiana mendorong tiang infus, mendekati Samantha. Wanita itu tampak menyentuh lengan Romeo yang tidak tertutupi kemeja flanelnya. "Rom, mayat itu ... siapa?"

Romeo tidak langsung menjawab, batinnya tak kuat melihat sorot kepedihan di sepasang iris hitam itu. Ia membiarkan Samantha terus mengguncang tubuhnya, menodongkan pertanyaan yang sama. Seketika, mata Romeo melotot saat melihat Samantha melakukan hal nekat. "Sam! Jangan lo cabut infusnya!" Terlambat, kini selang itu tergeletak di lantai, sementara lawan bicaranya beralih menghampiri Sadewa.

"Dewa ...." Samantha mengamati wajah Sadewa, berusaha melakukan kontak mata dengan lelaki itu. Ia sentuh wajah Sadewa, dilihatnya manik abu yang telah basah dan memerah. "David masih hidup, kan? Dia masih di penjara kan, Wa?"

Sadewa menggeleng pelan, tak sanggup membalas tatapan Samantha. Ia merasa bersalah, lagi-lagi membuat wanitanya menangis. Bug! Sakit akibat pukulan yang terus dilayangkan Samantha ke dadanya, berusaha ia tahan. Sakit ini tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Samantha, karena ulahnya maupun ulah sang istri.

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang