Happy reading
❣
“Samantha belum datang?” tanya Sadewa pada Fahri. Mereka stand by di lobby sejak lima belas menit lalu, ditemani beberapa karyawan yang bertugas mengiringi keberangkatan si bos. Setengah jam lagi jadwal pesawat take off, sementara mereka masih menunggu Samantha.
Sudah berkali-kali ditelepon, tapi tak kunjung diangkat. Sadewa bertukar pandang dengan Fahri, lelaki berkemeja putih dengan rompi hitam itu menggeleng pelan. Sepertinya, sang sekretaris memang absen. “Kita berangkat aja, Pak. Takutnya kena macet, ketinggalan pesawat.”
Embusan napas berat keluar dari mulut Sadewa, berat rasanya pergi tanpa sekretaris, dipastikan ia harus mengurus semuanya sendiri. Saat hendak masuk ke mobil, tiba-tiba sebuah suara menginterupsi. “Tunggu!”
Sadewa mengurungkan niat, memalingkan pandangan ke sumber suara, lantas senyum semringah terukir di bibirnya. Ia melihat Samantha tengah berlari kecil menyebrang jalanan seraya menggeret koper mini. Lega, akhirnya yang ditunggu pun datang juga. Fahri langsung mengambil alih koper tersebut dan dimasukkan ke bagasi, kemudian mempersilakan keduanya masuk ke mobil.
Kini, mobil enam seat itu melesat cepat menuju bandara. Sopir yang mengendarai tampak lincah mengoperasikan persneling dan kemudi. Fahri duduk di sebelahnya, sibuk dengan telepon genggam, berinteraksi dengan karyawan yang bersiap mengadakan acara launching jam sepuluh pagi ini.
Sementara Samantha terus diam, seraya memainkan kuku-kuku jarinya. Ia mengingat kejadian semalam, sepulangnya dari kantor, David sibuk mengurus Freya yang terus menangis. Lelaki itu mengganti popok, menaburi bedak pada pantat bayi itu, kemudian menutupnya dengan celana kain dan memberikan sebotol ASI.
“Kamu bersih-bersih dulu, biar aku yang urus Freya,” ujar David ketika Samantha hendak menggendong si bungsu. Tanpa menjawab, ia bergegas membersihkan diri. Manik hitamnya menangkap Cleo yang sibuk memainkan robot, anak lelakinya itu sama sekali tak menyampaikan tentang kejadian yang dialaminya beberapa hari lalu.
Usai ibadah maghrib, Samantha dan keluarga bersiap menyantap makan malam. Freya tertidur di kamar, sehingga mereka dapat menikmati makan malam tanpa diganggu tangisnya.
Samantha berdeham, kemudian berucap, “Besok, aku harus ke Jogja. Acara launching cabang. Cuma dua hari ....”
Seketika, gerakkan sendok dan garpu terhenti. David menatap Samantha yang duduk di sebelah kanannya dengan datar. “Bukannya resign, malah mau bermalam sama bos-mu itu?”
Samantha menghela napas berat, napsu makannya seketika lenyap. Ia mengajak bicara David di kamar, agar tidak didengar Bi Ririn atau Cleo, menjelaskan kewajibannya sebagai sekretaris, dari hati ke hati, berharap David mengizinkannya.
“Kamu mati rasa atau gimana sih, Sam?” David membuka suara setelah seharian menahan kesal. Ia tak paham dengan pola pikir Samantha yang semakin hari, semakin menjadi. Bukankah peringatan kemarin sudah jelas bahwa ia benar-benar menentang Samantha untuk kerja di sana?
“Kali ini aja, kasih aku izin. Setelah itu, kalau kamu minta aku resign, fine ... aku turutin,” jawab Samantha. Ia mendekati David dengan perlahan, berusaha menahan amarah suaminya. “Boleh, ya?”
David menepis tangan Samantha yang menyentuh pundaknya, lalu menatapnya tajam. “Kenapa baru sekarang kamu minta izin? Bukannya kemarin-kemarin kamu selalu mengabaikan peringatanku?”
Samantha menyibakkan rambut di sela helaan napasnya. Ia beralih duduk di kasur dengan kepala tertunduk. “Maaf, untuk sikapku akhir-akhir ini. Aku harap, kamu bisa memahami sudut pandangku yang beneran niat bantu kamu, gak lebih dari itu.”
David mendengkus, mengalihkan pandangan ke sudut ruangan. “Ini peringatan terakhirku, aku mau kamu resign! Atau, kita cerai!”
Helaan napas berat lolos dari mulutnya, Samantha mengerjap tersadar dari lamunan. Nyatanya mendapat izin dari suami tak semudah yang dibayangkan. Ia harus mengerahkan segala alasan dan kesabaran, agar mendapat titik temu dan akhirnya ... di sinilah dirinya, duduk di sebelah Sadewa sembari menyusuri jalanan kota yang tak terlalu ramai.
Sesampainya di bandara, Fahri dan Pak Yono menurunkan tiga koper dan digiring ke bagasi pesawat, sementara Sadewa dan Samantha mengurus check in. Sepuluh menit lagi, pesawat akan take off. Di sana, Sadewa duduk bersama Samantha, sedangkan Fahri dengan orang asing.
Pramugrari bertubuh semampai mulai memberi arahan mengenai apa yang harus dilakukan selama perjalanan berlangsung, termasuk cara menyelamatkan diri jika terjadi hal yang tak diinginkan.
Samantha sempat berpegangan ketika pesawat hendak take off, dengan gentle ... Sadewa meremas lembut tangan sang sekretaris, memberikan kenyamanan untuk mengurangi ketakutannya. “Tidur aja, kalau mabuk pesawat,” titah Sadewa.
Samantha menggeleng, menoleh ke kiri, menatap daratan di bawahnya yang sangat kecil dan tak terjangkau. Awan biru putih tampak bersih dan cerah, membuatnya lupa akan ketakutan menaiki burung besi ini.
“Roti?” Sadewa menyodorkan sebungkus roti selai cokelat yang diserahkan pramugrari, lantas diterima Samantha dan langsung dilahap habis olehnya. Sadewa terkekeh, sepertinya wanita di sampingnya itu belum sempat sarapan.
Perjalanan Jakarta menuju Yogyakarta memakan waktu sekitar satu jam. Setibanya di Bandara Adisutjipto, Fahri langsung mengontak sopir yang dikirim untuk menjemput mereka. Tak menunggu lama, kini mereka menuju tempat acara berlangsung. Gedung berlantai tiga yang dipadati orang-orang dan beragam karangan bunga sukacita atas dibukanya cabang kelima yang dikirim para kolega, menyita perhatian orang yang berlalu lalang.
Direktur terpilih, Danang Atmaja segera menyambut kedatangan bos besar, Sadewa. Beberapa awak media pun sigap mengambil gambar ketika Sadewa turun dari mobil, didampingi sekretaris. Mereka mengagumi paras keduanya, menurut mereka ... Sadewa dan Samantha adalah pasangan yang serasi.
“Selamat datang, Pak Dewa!” Danang menyambut seraya menjabat tangan atasannya.
Sadewa mengulas senyum lebar, ia diajak ke tempat utama yaitu pita merah yang melintang sebagai simbol dibukanya cabang ini. Tanpa mengulur waktu, Danang menyerahkan gunting kepada Sadewa, lalu meminta lelaki itu untuk segera memotong pita tersebut. Dalam hitungan ketiga, cabang telah resmi dibuka. Semua orang bertepuk tangan, saling melontarkan kata selamat.
Kini waktunya menyantap makan siang. Menu prasmanan yang disediakan cukup beragam dan serba mewah, terlihat sekali bahwa Sadewa ingin menjamu para tamunya dengan baik.
Namun, di tengah-tengah berlangsungnya acara tersebut, Samantha tak begitu menunjukkan respons baik. Maksudnya, ia cenderung diam dan merespons seadanya. Ia tak larut dalam suasana gembira, yang dipikirkan saat ini adalah tentang rasa bersalahnya karena telah melanggar larangan suaminya untuk tidak hadir di acara ini. Tapi, apa boleh buat? Ini sudah jadi kewajibannya, mau tidak mau ia harus melaksanakannya.
“Nikmati acaranya, masalah rumah tangga jangan dibawa ke sini,” bisik Sadewa seraya meremas tangan Samantha. Senyum simpul lelaki itu mampu menyihir seluruh kaum hawa. Sama seperti Samantha, yang merespons genggaman tangan Sadewa dan menuruti seluruh perkataannya.
❣
.
Published: 14 Juli 2021
Love,
Max
Klik 🌟, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)
Romance[FOLLOW SEBELUM BACA] Baca Sadewa & Samantha dulu!! Genre: Romance - Dewasa | 21+ "Gue cuma pengin melampiaskan kangen ke lo, wajah yang selama ini gak bisa gue lupain." Sadewa hendak meraih tengkuk Samantha, namun ditepis. "Kalo waktu bisa diputar...