65. Heart to Heart ❤️

888 65 27
                                    


"Shodaqallahul adzim." Qur'an bersampul keemasan ditutup setelah selesai dibaca. Tak lupa, serentetan doa dipanjatkan dengan khusyu', dikhususkan bagi almarhum agar tenang di alam sana, serta segala amal ibadahnya diterima Allah SWT.

Samantha mengusap wajahnya, tangis masih menyelimuti, namun kali ini sudah merasa tenang dan bisa menerima kenyataan bahwa lelaki itu telah beristirahat dalam damai.

Mukena putih dengan bordir cantik dilipat, seperangkat alat solat itu diletakkan di kursi dekat pintu kamar, kemudian Samantha beranjak ke kasur.

Lampu yang temaram, pancaran kuningnya memudahkan Samantha melihat setiap objek di dekatnya, termasuk bingkai foto di atas nakas, untuk kemudian didekapnya erat. Berkali-kali mengucap kata rindu, yang tidak lagi berbalas.

Tanpa sadar, tetesan air mata kembali jatuh. Ini sudah hampir 20 hari sejak kepergian sang suami, Samantha tak bisa membayangkan menjalani hari demi hari, tahun demi tahun, tanpa lelaki itu.

"Mama?" Cleo memanggil, mengubah posisi yang sebelumnya tidur menghadap sang adik, kini mendekati mamanya. Ia merebahkan diri di pangkuan Samantha, menatap lamat-lamat iris hitam yang kini juga menatapnya.

"Kok belum tidur?" Samantha bertanya dengan suara super pelan, diliriknya jam dinding yang menunjukkan pukul 20.30 WIB.

Cleo menggeleng. "Kangen Papa."

Samantha tercenung, lagi-lagi harus menahan tangis di depan anak lelakinya. Tidak ingin Cleo turut bersedih, justru mendidik bocah itu agar menjadi pribadi yang kuat.

"Kata Om Dewa, Papa itu pahlawan."

Bicara soal Sadewa, kejadian kemarin terulang lagi di ingatan Samantha. Kebenaran pahit itu, menyisakan sakit dan perasaan tidak terima, karena nasib buruk yang diderita olehnya dan mendiang suami, ternyata berasal dari Sadewa.

Perlu digaris bawahi, Sadewa tidak terlibat dalam seluruh kejadian itu. Ia tidak patut untuk dipersalahkan atas kesalahan yang tidak ia lakukan, melainkan Rachel.

Tanpa sadar, tangan kanan Samantha terkepal, menahan amarah yang bergemuruh di dadanya. Mengapa semesta tidak membiarkannya untuk hidup tenang dan damai bersama keluarga? Kenapa pula ia harus dipertemukan lagi dengan sang mantan, yang ternyata membawa nasib sial untuknya?

Ah, lagi-lagi, jangan salahkan Sadewa. Kalian lihat sendiri kan, bagaimana usahanya untuk berubah dan menunjukkan kesungguhan telah menjadi pribadi yang lebih baik.

Desahan berat diembuskan, Samantha kembali sadar dari lamunannya. Ia mengusap kepala Cleo, seraya berucap, "kenapa Om Dewa bilang gitu?"

Cleo mendongak, netra abunya menatap lurus netra hitam milik sang mama. Dua tangan mungilnya tertaut, membentuk pola abstrak. "Karena, Papa sudah menyelamatkan Mama."

Samantha menjatuhkan diri pada perasaan bersalahnya. Menyentuh dada bagian kiri, lantas ia tertunduk merasakan detak jantung milik David ada pada dirinya. Rambut panjang yang digerai, menutupi seluruh wajah, bahkan ujung-ujung rambutnya mengenai wajah Cleo.

Sesak, napas tercekat, seakan oksigen tidak dapat dihirupnya. Beberapa kali Samantha memukuli dadanya dengan pelan, mati-matian menahan tangis, agar Cleo tidak khawatir atas apa yang terjadi padanya.

"Kenapa kamu gak biarin aku mati aja, Dave?" batin Samantha.

"Aku mau berterima kasih sama Papa, karena udah menyelamatkan Mama." Cleo mengulangnya. Senyuman terukir di wajah, menujukkan bahwa ia sudah bisa merelakan kepergian sang papa, meski Samantha tahu, anaknya itu sedang berbohong.

"Papa memang pahlawan, sayang." Samantha kembali mengusap rambut Cleo. Ia menunduk, mengecup kening si sulung cukup lama. "Papa percaya, Mama bisa menjaga kamu dan adik."

Cleo tak mengerti maksud Samantha, namun ia yakin yang diucapkan mamanya adalah sesuatu yang baik. Lantas, ia mengangguk dengan gigi susu yang berderet. "Aku mau kayak Papa, jadi pahlawan."

Samantha mengangguk mengiyakan. Mau sehancur apapun dirinya, masih ada tanggungjawab besar di pundaknya. Iris hitamnya menoleh ke kiri, melihat si bungsu tertidur pulas dalam balutan kain jarik. Prihatin, terlalu cepat putri kecilnya menjadi anak yatim, bahkan belum ada memori sedikit pun tentang kenangan bersama David.

"Cleo ...." Samantha berbisik, menyita atensi Cleo yang melamun. Ia menyentuh dada kiri Cleo, kemudian berucap, "meskipun Papa pergi jauh, tapi Papa akan selalu ada di sini."

Cleo menunduk, melihat tangan mamanya yang beberapa kali menepuk pelan dadanya.

"Papa selalu ada di hati kita, sayang." Samantha berbicara dengan suara getir, pertahanannya runtuh. Ia berpaling, buru-buru mengusap air mata di wajahnya.

Tangan mungil Cleo bergerak menggenggam tangan Samantha yang masih berada di dada kirinya, seraya bergumam, "Papa selalu ada di sini."

A/N: Ponakan online satu ini polos dan menggemaskan 😭 di umur yang masih belia, dia sudah bisa dewasa. Huhu.

Published; 13 October 2021

Love,

Max

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang