62. Farewell 👋🏻

695 76 44
                                    

Aku mau tanya, sekaligus survey... dijawab ya...

Kalian baca cerita ini, apa sudah baca series pertama dan keduanya? (Sadewa & Samantha). kalau langsung baca trilogi ini, agaknya kurang merasuk, karena tidak mengikuti perjalanan mereka dari awal, jaman SMA.

"Sam ...." Sadewa bergumam saat mengamati sosok yang sedari tadi ditunggunya kini telah hadir di depan mata. Berada dalam mobil berkaca film hampir 100%, tak ada seorang pun tahu keberadaannya, termasuk Samantha.

Wanita berpakaian serba hitam itu menenteng keranjang kosong, setelah turun dari motor ojek online yang dipesannya. Ia belum mampu menyetir, karena belum sehat sepenuhnya dan masih sering oleng. Setibanya di rumah, ia melepas penat dengan duduk di teras. Wajahnya sembab, tangannya bergerak mengusap bingkai foto yang digenggamnya. "Dave, aku kangen."

Isak tangis yang menyesakkan lolos dari mulut Samantha, sejak kepulangannya dari rumah sakit, ia kerap menyambangi peristirahatan terakhir sang suami. Rasanya, belum terima dengan kenyataan pahit bahwa lelaki itu sudah tiada untuk selamanya.

"Non, sabar, ya. Mas David udah tenang di sana," ujar Bik Ririn yang tiba-tiba berdiri di sebelah Samantha seraya menyentuh pundak majikannya. Ia turut sedih, karena selama hidup, David selalu berkelakuan baik, berusaha untuk memberikan penghidupan yang layak bagi mereka, termasuk kebijakaanaannya dalam mencari jalan keluar atas masalah yang dihadapi.

"Kenapa secepat ini Dave pergi, Bik?" Samantha berbicara dengan lirih sembari mendekap bingkai foto itu. Air matanya bercucuran, terkuras habis setiap harinya. "Aku udah gak punya siapa-siapa lagi."

"Masih ada Bibik, Non." Bik Ririn mendekap Samantha dari samping, usianya yang sudah lima puluh tahun, membuatnya bertindak seperti pengganti mendiang Fina. "Non gak sendirian, ada Cleo sama Freya juga. Mereka membutuhkan Non untuk bertahan. Jangan menyerah. Bibik akan selalu ada di samping Non."

Samantha membalas dekapan itu, napasnya sesak. Ia benar-benar hancur, hidupnya hampa, siapa nanti yang akan mendampinginya menjalani hidup serba tidak adil ini?

"Sam?" Sebuah suara menginterupsi, kontan dekapan itu terlepas, keduanya memalingkan wajah saat melihat sosok yang menghampiri, dan mengusap air mata. "Maaf, kalau kedatanganku mengganggu kamu."

Samantha menggeleng sambil tersenyum tipis. Ia menoleh ke kiri, memberi isyarat pada Bik Ririn untuk meninggalkan keduanya. Lantas, asisten yang sudah lama mengabdi itu pamit untuk mengurus pekerjaan rumah.

Sadewa melirik bingkai foto yang digenggam Samantha, kemudian mendesah berat. "Ikut aku, yuk?" Samantha mengernyit menatap uluran tangan Sadewa. "Daripada berlarut dalam kesedihan, temenin aku ke kantor."

Samantha bimbang, belum memutuskan pilihan, tangannya sudah lebih dulu digenggam Sadewa. Ia terpaksa beranjak, meletakkan foto mendiang suaminya di meja bundar yang terbuat dari kayu, kemudian mengikuti Sadewa yang menggiringnya ke mobil lelaki itu.

Sepanjang jalan, tak ada yang berucap. Masih terdengar isakan kecil dan helaan napas yang tersengal-sengal dari mulut Samantha. Sadewa tak kuasa melihatnya, lantas memberanikan diri untuk menggamit tangan kanan Samantha di paha perempuan itu.

Samantha merasa kikuk, namun tak berniat melepasnya juga. Ia membiarkan Sadewa untuk menunjukkan kepedulian terhadapnya, setidaknya ... kali ini lelaki itu tampak tulus melakukan hal baik untuknya.

Sesampainya di perusahaan, Sadewa terus menggandeng tangan Samantha, keduanya pun menjadi sumber tontonan dan gunjingan para karyawan.

"Gila ya, Pak Dewa ... istri lagi di rumah sakit, tapi berani bawa gandengan baru." Kartika berbisik dengan dua teman kerjanya, mereka pun mengangguk setuju.

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang