Komen & share, ya, supaya banyak yang kenal Sadewa and The Monsters👍🏻
•
"Kesempatan terakhir lo ...." Ucapan Awan terus terngiang di kepala Sadewa. Sepanjang perjalanan, ia memikirkan langkah apa yang akan diambil, apakah Tuhan masih memberinya kesempatan atau justru berkehendak lain.
Helaan napas berat diembuskan, Sadewa mengusap wajahnya yang berminyak campur keringat. Klakson dibunyikan, memberi perintah bagi sekuriti untuk membuka gerbang besi raksasa di hadapannya. Tak lama, setelah menekan tombol remote control, gerbang itu terbuka dengan sendirinya. Sadewa kembali menekan klakson sebagai ucapan terima kasih dan memarkirkan mobilnya di halaman rumah.
Langkah gontai memasuki ruangan yang beberapa lampunya dipadamkan, ia mengedarkan pandangan ke penjuru tempat, lalu menaiki anak tangga sambil menggenggam jas yang kumal.
Kenop pintu penghubung kamar si kecil dibuka perlahan, agar tidak menimbulkan derit yang dapat membangunkan putrinya. Sadewa mendekat, menunduk dan mengecup kepala gadis cilik yang terlelap seraya memeluk boneka BayMax hadiah ulang tahun yang diberikan olehnya tahun lalu.
Kini, Sadewa keluar dari ruangan itu dan berjalan menuju kamar utama. Ia melirik ke bawah pintu, tampak lampu masih berpijar terang di dalamnya. Perasaan berkecamuk yang mati-matian ditahan sedari pagi, ia buka pintu itu dengan kasar dan melemparkan jasnya secara asal ke keranjang di dekat pintu.
Manik abunya berpendar, tak ada tanda-tanda keberadaan si isteri, namun sayup-sayup terdengar suara lembut tengah mengobrol lewat sambungan telepon.
Sadewa mendekat, mendorong pintu penyekat menuju balkon, sontak kehadirannya mengagetkan sang isteri. "Laf, gue tutup ya," ucapnya, kemudian sambungan itu terputus.
Obrolan serunya membahas kehidupan Ollaf selaku pengantin yang baru menikah tiga bulan lalu, harus terhenti dengan hadirnya Sadewa. Kalau dipikir-pikir, terakhir kali bertemu dengan teman sebangku masa kuliahnya itu, ya ... di hari pernikahan Ollaf.
"Aku siapin air hangat, ya," ujar Rachel, hendak beranjak namun langkahnya terhenti karena pergelangan tangannya dicekal Sadewa. Jantungnya berdebar kencang, keringat dingin mulai bercucuran, tapi ia berusaha bersikap setenang mungkin.
"Kenapa kamu tega lakuin itu, Chel?"
Rachel menoleh, menatap wajah Sadewa dari samping, tangan kirinya meremas kimono yang terbuat dari bahan satin. Ia mengulas senyum seraya melepas cekalan suaminya. "Apa maksudmu, sayang?"
Sadewa menghindar saat Rachel hendak menyentuh wajahnya, dalam satu gerakkan ... ia sudutkan tubuh ramping wanita itu hingga membentur railing cukup keras, tak peduli rintihan yang dilontarkan sang istri. "Aku tau semua perbuatan kejimu."
Rachel mencoba menahan Sadewa yang terus mengungkungnya, sambil melirik ke arah bawah. Ia menelan saliva dengan kasar, kemudian kembali menatap Sadewa dengan ekspresi senatural mungkin. "Aku gak ngerti—"
"Stop being manipulative, Chel!" Sadewa menggeram, memukuli railing besi itu hingga menimbulkan suara bising. Lantas, ia meraih rahang Rachel dan dicengkeramnya dengan kuat. "Kenapa lo senekat itu mencelakai Samantha?"
Rachel, yang sebelumnya tertunduk, kini menatap manik abu Sadewa dengan nyalang. Ia lepas cengkeraman di rahangnya dan mendorong Sadewa hingga memberi jarak antara keduanya. "Kamu nuduh aku?"
"Gak usah munafik, lo!"
"Kok jadi lo-gue, sih?"
"Bacot!" Sadewa kembali memukul railing, membuat Rachel terenyak kaget dan refleks menutup mata, jantungnya berdebar tak keruan. "Lo sengaja nyuruh Fahri untuk menggiring Sam ke kafe, terus lo lakuin aksi bejat itu, kan?"
Satu sudut bibir Rachel tertarik ke atas, bersamaan dengan suara decihan dari mulutnya. "She deserved it." Ia bersedekap, tatapannya tak lepas dari manik abu itu, tanpa takut sedikit pun. "What's mine will always be mine. Dia berusaha rebut lo dari gue, dan gue gak akan biarin hal itu terjadi."
Sadewa menggeram, tangannya mengepal kuat. "Lo tau kan, hubungan gue sama dia sebatas rekan kerja—"
"Kalimat itu juga sering lo ucapkan saat Syakilla masih jadi sekretaris lo, tapi apa? Nyatanya lo juga main belakang kan, sama dia?" potong Rachel dengan nada meninggi, persetan jika di bawah sana ada yang menguping pembicaraan keduanya.
Sadewa kehabisan kata-kata, napasnya memburu, urat-urat menonjol di wajahnya. "Jangan lo samakan Samantha sama Syakilla. Mereka beda!"
"Apa bedanya?" Rachel menyela, maju satu langkah dan menghapus jarak. "Mereka sama-sama jalang!"
Satu tamparan mendarat di pipi Rachel, membuat helaian rambut menutupi wajahnya. Ia menyentuh pipi yang memanas, seketika butiran air berkumpul di sudut matanya. Ia menegakkan posisi tubuhnya, masih memegangi bekas tamparan itu, lalu menatap Sadewa dengan tatapan bak deklarasi perang. "Untuk pertama kalinya, lo berani pukul gue demi perempuan itu?"
Merasa bersalah, Sadewa mundur dua langkah. Ia memandangi telapak tangannya yang memerah, membayangkan seberapa keras pukulan yang ia layangkan di wajah sang istri.
"Lo masih butuh jawaban atas perlakuan gue ke Samantha?" tanya Rachel dengan menantang. Sakit di pipinya sudah tak dirasakan lagi. "Apa yang lo perbuat, menunjukkan kalau hati lo bukan untuk gue lagi," ucapnya dengan dingin, sosoknya yang terkenal baik hati dan lemah lembut pun lenyap.
Sebelum beranjak, Rachel kembali berucap, "gue se-naif ini ternyata," ujarnya sambil tertawa getir, kemudian melirik Sadewa dengan ekor matanya. "Selama ini, gue cuma memiliki raga lo, tidak dengan hati lo."
•
A/N; yap, Rachel punya alesan kenapa dia lakuin itu. Mungkin, kalau kalian jadi Rachel, juga bakal merasakan sakit yang sama 🙁
•
Published: 3 Oktober 2021
Love,
Max
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)
Romansa[FOLLOW SEBELUM BACA] Baca Sadewa & Samantha dulu!! Genre: Romance - Dewasa | 21+ "Gue cuma pengin melampiaskan kangen ke lo, wajah yang selama ini gak bisa gue lupain." Sadewa hendak meraih tengkuk Samantha, namun ditepis. "Kalo waktu bisa diputar...