58. Too late to apologize 🧨

783 77 56
                                    

"Kok pada benci Sadewa? Padahal dia tokoh utama dan udah menunjukkan sikapnya jadi lebih baik." - Max

"Lo gila, Ri," Sadewa menatap lelaki yang duduk di hadapannya berbaju oranye, di tempat yang sama ketika berbincang dengan mendiang David, beberapa minggu lalu. "Gak mikir konsekuensi dari tindakan lo ini?"

Keduanya bertukar pandang, senyum Fahri menyiratkan penyesalan yang teramat dalam. "Cuma dengan cara ini, aku bisa menebus kejahatan yang kulakukan ke Samantha."

Hening, larut dalam pikiran masing-masing. Ruangan berukuran 3x4 meter itu tak ada sirkulasi udara, terasa pengap dan sesak. Di sudut ruangan terdapat seorang penjaga berseragam cokelat lengkap dengan topi dan senjata yang digenggamnya.

"Maaf, aku terpaksa menunjuk Bu Rachel sebagai dalangnya." Sorot mata Fahri tak menunjukkan perasaan gentar dan menyesal telah mengambil keputusan ini. Paska adu fisik dengan si bos tempo hari, Fahri bertekad menyerahkan diri. Ia tidak sanggup jika harus menjalani hari-harinya diliputi rasa bersalah.

Sadewa menghela napas panjang dan diembuskan perlahan, cepat atau lambat ... si pelaku tetap akan terkuak. Ini hanya tentang waktu. "Gimana nasib Shenna, kalau lo dipenjara? Siapa yang jagain dia?"

Fahri terdiam, ini memang masih menjanggal, karena ia dan sang adik tidak memiliki siapa pun lagi, sejak orang tua mereka mengalami kecelakaan maut 15 tahun lalu, sehingga keduanya sudah tertempa dengan kehidupan yang berat.

Fahri memiliki tanggungjawab menjaga Shenna Andini yang berusia selisih 2 tahun darinya. Sang adik mengalami sakit parah hingga mengharuskan dirinya menjalani pengobatan kemoterapi.

Terdengar egois memang, namun keputusan yang diambil Fahri sudah bulat, artinya ia harus rela berpisah dari Shenna selama beberapa tahun mendatang, tergantung berapa lama sanksi pidana yang akan dijatuhkan jaksa penuntut umum.

"Aku titip Shenna ke Bude Rosa, juga udah kujelasin semua, termasuk keputusan ini," ujar Fahri dengan nada lemah, terdengar kekehan pelan dari mulunya, lantas ia tertunduk. Rasanya malu sekali dengan kebodohan yang telah dilakukannya. "Maaf, aku mengkhianati kepercayaanmu."

Sadewa mengusap wajahnya lalu beranjak dari dudu. "Aku hargai keputusanmu," jedanya seraya menatap tajam manik hitam Fahri lekat-lekat. "Apa kamu tau, karena tindakan bodohmu itu, Samantha kehilangan David."

Melihat kernyitan di kening Fahri, lantas Sadewa kembali berucap. "Akibat kecelakaan yang dialami Samantha, dia harus dapat donor jantung, dan orang yang mendonorkan jantungnya ... David."

Sontak, Fahri tercengang. Kedua tangan yang terborgol di atas meja, kini terkulai lemas di pangkuan pahanya. Ia menatap Sadewa dengan tak percaya seraya menggeleng pelan. Berharap apa yang didengar adalah suatu kesalahan, namun tatapan manik abu di hadapannya menunjukkan bahwa itu benar-benar nyata.

"Selamat menikmati siksa dunia yang sesungguhnya." Sadewa melenggang pergi, meninggalkan Fahri yang mematung tak berdaya.

Sedetik kemudian lelaki itu terisak. Dadanya tampak naik turun mengikuti sesak napas yang dirasakannya. Beberapa kali Fahri memukuli meja di hadapannya untuk melampiaskan kesedihan terhadap tindakan gegabah bersama nyonya besarnya. "Lo bodoh, Ri! Lo emang pantes dihukum!"

Beranjak dari ruangan tempat dipertemukan dengan Fahri, kini Sadewa meminta izin pada petugas untuk menemui sang istri. Ia sadar, sejak hari penangkapan lusa kemarin, belum bisa menjenguknya.

Iris abu Sadewa mengamati wajah pucat Racehl tanpa polesan apa pun. "Chel ...." Ia membayangkan betapa susahnya Rachel hidup di sini, satu sel bersama tahanan lain, tanpa alas tidur, dan berbagi makanan.

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang