Ayoooo komen sebanyak-banyaknya, biar cerita ini bisa bersaing dengan yang lain 👻
•
“Di mana, Ri?” tanya Sadewa sembari menyetir mobil dengan kecepatan 80km/jam. Jalanan tampak lengang, sudah jam setengah sembilan. Beberapa kali Sadewa diklakson banyak orang, karena menyetir ugal-ugalan dan hampir merugikan orang lain, tapi ... persetan! Kini, yang dipikirkan hanya pesan dari sang mantan.
Samantha
Dewa, tolong aku.
Please, angkat teleponnya.
I need your help.Pesan dan telepon berantai dari wanita itu tak satupun mendapat jawaban darinya. Ini semua karena ponselnya mati. Kalau saja semalam ia tidak kalut dalam suasana, dan lebih peka terhadap gerak-gerik Rachel, sudah pasti ia dapat menolong Samantha tepat waktu.
Sementara ketika dibuat bingung oleh bentuk pertolongan yang diharapkan Samantha, sesaat kemudian muncul pesan dari Fahri yang menjelaskan semua. Ia yakin, ada kesalahpahaman, atau mungkin ... suami dari mantan kekasihnya itu sengaja dijebak oleh seseorang?
“Aah, shit!” Sadewa mengumpat saat mobilnya terjebak lampu merah, durasi detik yang terasa lama membuatnya kesal. Tetapi, yang paling membuatnya ngamuk adalah perasaan takut dan khawatir terhadap Samantha. Bagaimana wanita itu menghabiskan semalaman dengan masalah yang pelik, sementara dirinya justru terlena dalam kenikmatan bersama Rachel.
“Fuck!” Sadewa berkali-kali memukuli setir kemudi, hingga telapak tangannya terdapat bekas memar kemerahan. Setelah mendapat arahan dari Fahri via telepon, ia segera melajukan mobil ke tempat sang rival berada.
Tidak, ini bukan waktu yang tepat menganggap David sebagai saingan, karena posisi lelaki itu berada dalam bahaya. Tak tahu kenapa, Sadewa justru mementingkan untuk mendatangi David, padahal jelas-jelas pagi ini akan ada rapat dengan para karyawan.
Setengah jam berlalu, kini Jeep hitam keluaran terbaru itu terpakir di halaman lapas. Saat turun dari mobil, terbesit memori buruk lima tahun lalu, tempat ini sungguh membuatnya trauma. Namun, ia berusaha menguatkan diri, Fahri pun sudah menunggu di depan pintu.
“Sudah hubungi Pak Cahyo?” tanya Sadewa pada Fahri, yang kemudian ditanggapi anggukan si body guard. Fahri telah meminta petugas lapas untuk memberi kesempatan bicara antara David dengan bosnya.
Mereka berada di ruang tertutup, dibatasi penyekat antara keduanya, sementara Fahri menunggu di pojok ruangan, bersama dua petugas lapas.
Sadewa melonggarkan ikatan dasinya, kemudian mengamati David yang terlihat sangat kacau. Ia paham betul bagaimana cara para penghuni lapas bersikap terhadap satu sama lain. Apalagi, David adalah orang baru, yang sedang dimintai keterangan, jika tidak menjawab sesuai yang mereka inginkan, maka pukulan dan tendangan adalah balasannya.
Bekas luka akibat pukulan debt collector beberapa hari lalu semakin menganga dan kembali mengucurkan darah, wajahnya pun babak belur dan memprihatinkan. Memar biru kehitaman di sekitar pelipis dan pipi, membuat siapapun ngilu melihatnya.
Helaan napas berat diembuskan, Sadewa mulai membuka obrolan dengan suara berat. “Apa yang terjadi?”
Senyum getir terukir di bibir David yang terdapat luka, bahkan untuk tersenyum saja rasanya tak punya tenaga. “Gue dijebak.”
Kedua alis Sadewa menyatu seraya menajamkan pendengaran, memperhatikan setiap kalimat yang diucapkan David.
“Gue udah jelasin yang sebenarnya, tapi petugas gak percaya. Mereka masih menuduh gue sebagai pelaku penggelapan uang!” ujar David sambil menunjuk Sadewa dengan dua tangan yang diborgol. “Ada yang beli mobil secara cash, dan gue cuma disuruh bawa koper berisi uang itu ke bagian keuangan, tapi tiba-tiba mereka ...,” jedanya seraya menunjuk ke arah dua petugas yang berjaga dengan seragam hijau. “Mereka datang nangkap gue dengan tuduhan tidak berdasar!”
Ruangan berukuran 5x5 meter bermaterial beton dan kedap suara, namun di dalamnya sangat riuh akibat teriakan David yang menggema. Meja cokelat di hadapannya beberapa kali digebrak, guna meluapkan emosi yang memuncak. David sangat kesetanan, pasalnya ia tak memiliki kuasa untuk melawan, karena sangkalan apapun yang diucapkan, justru memberikan luka baru di tubuhnya.
Dua petugas yang berjaga hendak mendekat, berniat menahan David yang terus berulah, namun langkahnya ditahan Fahri. Lelaki dengan badan berisi dan otot lengan yang menonjol dari balik kaos hitamn, menatap dua petugas berusia sekitar tiga puluh tahunan itu sambil menggeleng pelan, memberi isyarat agar tidak ikut campur.
Sadewa diam. Pandangannya kosong menatap ke depan, urat-urat kepalanya menonjol. Lelaki itu berpikir keras mencari jalan keluar dari permasalahan ini, menyusun kepingan puzzle yang belum dapat dipecahkannya.
“Lo gak perlu ngamuk.” Sadewa kembali berucap, kini dengan suara yang lebih tenang, satu tangannya terulur di meja, sementara satunya lagi berada di atas paha. “Mereka gak akan dengerin penjelasan lo, yang mereka butuhkan cuma pernyataan lo mengakui perbuatan itu.”
David mengernyit, semakin dibuat bingung. Dadanya naik turun, mengikuti helaan napas yang tak beraturan. Jika tangannya tidak diborgol, dua petugas yang sedang menjaga saat ini pasti mati dihajar olehnya.
“Gue udah hubungi pengacara untuk bantu menangani kasus lo,” ujar Sadewa seraya bersiap meninggalkan tempat itu. “Orang yang lo hadapi bukan orang yang sembarangan, mereka punya kuasa dan kekuatan untuk menjatuhkan lo kapan aja. Semoga, Pak Cahyo bisa bantu lo untuk keluar dari sini, atau setidaknya ... hukuman lo bisa berkurang.”
Manik hazel David menatap ke penjuru tempat, pelipisnya menonjolkan urat-urat, berusaha mencerna ucapan Sadewa. Ketika lelaki berjas itu beranjak dari duduk, suara berat David memecah keheningan dan menahan langkah Sadewa. “Gue gak tau apa motif lo sampai bersedia bantuin gue, tapi gue hargai niat baik lo.”
Sadewa berbalik, keduanya saling bertukar pandang. Sementara di sudut ruangan, tiba-tiba ponsel Fahri bergetar. Manik hitamnya membulat sempurna tatkala membaca nama penelepon, kemudian diketuknya tombol hijau di layar ponsel, dan bersikap layaknya tidak terjadi apa-apa, seraya semakin mendekatkan jarak dengan dua orang yang sedang berdialog tersebut.
“Gue minta satu hal,” ujar David dengan suara bergetar. Atensi terpaku pada borgol yang melukai tangannya. “Kalau sampai terjadi hal buruk nantinya, tolong jaga Samantha dan keluarga gue.”
Saliva ditelan secara kasar, Sadewa kini berdiri dan menghadap David dengan atensi yang seutuhnya menatap manik hazel itu.
“Gue tau, sebenarnya kalian masih saling sayang, tapi karena kehadiran gue, kalian terpisah.” David menatap mata abu Sadewa dengan tajam, jantungnya berdegup tak keruan untuk mengucap kalimat selanjutnya. Ia telah memikirkan hal ini semalaman, dan inilah keputusannya. “Kalau gue dipenjara, gue gak bisa melaksanakan kewajiban sebagai kepala keluarga. Gue gak bisa kasih nafkah dan menjaga mereka.”
Sebelum melanjutkan ucapan, Davis menghirup udara sebanyak-banyaknya, memantapkan hati, lantas berucap, “Tolong gantiin posisi gue sebagai ayah buat Cleo dan Freya, juga sebagai pendamping untuk Samantha.”
💦
A/N: yang jago tebak alur, coba tuangkan imajinasi kalian di komen ini. banyak teka-teki di sini
•
Published: 15 September 2021
Love,
Max
KAMU SEDANG MEMBACA
Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)
Romance[FOLLOW SEBELUM BACA] Baca Sadewa & Samantha dulu!! Genre: Romance - Dewasa | 21+ "Gue cuma pengin melampiaskan kangen ke lo, wajah yang selama ini gak bisa gue lupain." Sadewa hendak meraih tengkuk Samantha, namun ditepis. "Kalo waktu bisa diputar...