37. Three Strangers 🥊

728 77 40
                                    

Lapak ini sepi banget, ramein dengan komen kalian dong.

Klik 🌟, ya!

.

"Maaf, ya, gara-gara meeting dadakan, jadi pulang malem," ujar Sadewa membuka obrolan. Suasana dalam mobil cukup hening sejak melaju dari bandara.

Tak ada jawaban, wanita dengan coat hitam berbulu yang menutupi bagian depan tubuhnya dari dinginnya udara AC, memilih bungkam. Matanya terpejam, namun tidak tidur. Pikirannya kalut, mencoba mencari alasan yang tepat untuk dijelaskan pada suami. Feeling-nya mengatakan, sepulang dari sini pasti akan timbul masalah.

Samantha menoleh ke kiri, penasaran sampai mana mobil itu melaju. "Pak, gang depan itu belok kanan," ujarnya pada sopir tua yang duduk di sebelah Fahri. Sopir itu langsung menurunkan kecepatan dan berbelok sesuai arahan.

Sadewa terus mengamati pergerakan Samantha yang sibuk mengecek isi tas. Ia belum rela berpisah. Meskipun keduanya menghabiskan satu malam bersama, tapi itu belum cukup mengganti lima tahun yang terlewatkan begitu saja. "Aku tunggu di kantor besok."

Samantha mematung dengan posisi tangan kanan yang masih mengacak-acak tasnya. Ia menatap lawan bicara dengan datar. "Besok aku serahin surat pengunduran diri," ucapnya tanpa ekspresi, kemudian menatap ke depan. Sekitar satu meter lagi, mereka sampai tujuan. "Pak, berhenti di rumah biru itu, ya."

Ketika hendak menepi, tiba-tiba terdengar suara hantaman dan teriakan. Lantas, semua atensi berpusat pada kerumunan lelaki berbaju hitam yang turun dari mobil Jeep keluaran tahun lama, dan terlibat adu mulut dengan seseorang.

"Mau sampai kapan lo janji bayar utang lo? Hah?!" teriak salah satu dari mereka. Perawakan ketiganya sangat tinggi dan besar, seperti body guard yang siap adu jotos kapan pun.

"Kasih waktu sampai akhir bulan, saya akan cicil sesuai kesepakatan," jawab lelaki yang berusaha tidak tersulut emosi. Ia mengedarkan pandangan, berharap pertikaian ini tidak jadi bahan tontonan para tetangga.

Mobil Toyota Velfire yang terparkir di dekat trotoar itu lantas mematikan mesinnya. Sadewa menoleh ke kiri, mencari tahu penyebab di balik keributan itu. Samantha pun terbelalak mengetahui lelaki yang menjadi bulan-bulanan tiga preman itu tidak lain adalah suaminya sendiri. Lantas, ia langsung membuka pintu mobil, membiarkan coat terjatuh di tanah ketika berlari menghampiri sosok yang terkulai lemah.

"Stop! Jangan pukul suami saya!" Samantha berusaha melerai, menarik salah satu baju lelaki yang memukuli wajah David, namun tenaganya tak cukup kuat. Ia terhuyung ke belakang ketika didorong lelaki itu.

Melihat itu, kontan Fahri dan Sadewa langsung turun dari mobil. Sadewa memberi isyarat pada tangan kanannya untuk membereskan masalah ini, sementara ia membantu Samantha untuk bangkit. "Lo gak papa?" Manik abunya mengamati sekujur tubuh Samantha, berharap tidak ada luka sekecil apapun yang didapat wanita itu.

Fahri berusaha menahan bogeman yang terus dilayangkan ke wajah David, satu tangannya lagi menahan pukulan yang hampir mengenai dirinya sendiri. Dengan satu gerakan, dua tangan preman itu sukses dipelintir olehnya, membuat keduanya menjerit kesakitan dan beringsut mundur.

Pria dengan brewok lebat yang sedari tadi mengamati kondisi sekitar, bergegas maju dan kembali menjejaki perut David dengan sepatu boots-nya. Kontan, David meringis kesakitan, darah mengucur dari mulut dan hidungnya. Tak kuasa melihat kejadian itu, Samantha memutuskan untuk menghampiri David, namun langkahnya dicegah Sadewa. "Lepas!"

"Lo mau apa?" tanya Sadewa yang semakin menguatkan cengkeramannya. "Jangan lakuin hal bodoh yang bisa ngerugiin diri lo!"

"Gue gak bisa diem aja lihat Dave dipukulin mereka!" Samantha meronta. Tangisnya pecah, ia tak peduli jika kini sudah ada beberapa pasang mata lainnya yang ikut menonton drama rumah tangganya.

Di lain sisi, Fahri masih meladeni dua pria yang tubuhnya jauh lebih besar darinya, namun kemampuan bela dirinya jauh lebih hebat dari mereka. Kedua preman itu kewalahan menerima pukulan dan tendangan Fahri dengan berbagai jurus jitu yang dipelajari semasa berlatih karate di bangku SMP.

"Papa!" Teriakan nyaring menyita atensi, Cleo berlari keluar rumah menghampiri David yang babak belur. Bi Ririn tak bisa menahan Cleo, karena ia harus menggendong dan menenangkan Freya yang terbangun akibat keributan itu. "Papa!"

"Minggir!" Pria brewok itu tak sengaja mendorong tubuh mungil Cleo hingga anak lelaki itu terpental ke belakang. Pria itu tak berniat kasar, tapi emosi telah menguasainya. Ia menatap Cleo yang menangis sejadi-jadinya seraya menyentuh pelipis yang berdarah.

"Cleo!"

"Bajingaaan!" Sadewa melepas cekalannya, dalam hitungan detik ia menghantam kepala bagian belakang lelaki yang tengah menghabisi David dengan batu bata yang diambilnya di dekat trotoar.

"Beraninya lo ngasarin anak gue!" Sadewa meraih kerah jaket jeans pria itu, menariknya dengan kasar dan mendorongnya hingga terhuyung. Wajahnya merah padam, kejadian yang berlangsung singkat tadi terus berputar di kepalanya. Ia kesetanan dan terus menghantam batu bata ke kepala pria itu berkali-kali, hingga bersimbah darah.

"Bos! Cukup!" Fahri berusaha melerai dengan menahan tangan Sadewa, namun bosnya itu tak peduli dan terus memukuli pria yang mungkin sebentar lagi akan menemui malaikat Izrail. "Bos! Dia udah gak berdaya!"

"Minggir, Ri!" Sadewa menepis tangan Fahri, dan kembali memukuli pria itu dengan tangan kosong. Ia memiliki kesempatan melampiaskan kemarahan yang selama ini ditahankan. "Lawan gue!"

"Bos!" Bug! Fahri terpaksa melayangkan pukulan di tengkuk Sadewa, membuat si bosnya itu terenyak dan tersungkur di tanah. Fahri menarik kerah pria brewok itu dan mengumpulkan ketiganya.

Sadewa mengerjap beberapa kali, kepalanya pusing, yang dapat dilihat hanya hamparan langit mendung yang berjarak ribuan kilometer di atas sana. Ia berusaha bangkit, dengan tangan memegangi kepalanya. Pandangannya kabur, namun samar-samar ia dapat melihat Samantha sedang menolong lelaki yang tak bertenaga, bahkan untuk bangkit pun tak kuasa. Ia menggeram, marah kembali menguasai dirinya, karena wanita itu bukannya mendatanginya, justru memunggungi dan meninggalkannya masuk rumah.

"Gue kasih lo kesempatan sampai akhir bulan untuk bayar utang lo!" teriak salah satu pria yang kesakitan di bagian dadanya, akibat tendangan maut Fahri.

"Berapa utang mereka?" tanya Sadewa dengan lunglai seraya mengusap tengkuknya yang masih linu. Ia mendekati tiga pria itu, kemudian mengeluarkan kartu nama dan dilemparkan ke arah mereka. "Gue bayar semua, dan jangan usik mereka lagi!"

Sadewa meludah, hampir mengenai sepatu pria yang berambut keriting. Sebelum memasuki mobil, ia sempat menoleh ke belakang dan mendapati Samantha mengintip dari balik jendela. Detik kelima setelah keduanya saling bertukar pandang, gorden cokelat itu ditarik. Sadewa menghela napas, coat bulu yang terjatuh di dekat ban mobil diraihnya dan diremas dengan emosi yang masih belum terkendali. Melihat Cleo didorong preman itu dan Samantha yang justru mengabaikannya tanpa mengucap sepatah kata pun, sukses menyakiti hatinya.

Sadewa mendesah seraya mengusap wajahnya dengan kasar. “Kenapa bertahan sama orang yang gak bisa kasih lo kebahagiaan?”

💗

A/N: niatnya bikin adegan action, tapi maaf gak jago bikin narasinya. Semoga, yang sedikit ini tetap bisa kasih gambaran untuk kalian.

Apa menurut kalian tentang scene ini? Komen dong..

.

Published: 19 Juli 2021

Love,

Max

Dua Bahtera, Satu Cinta • Trilogy Of Sadewa (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang