Nara menunggu cemas seraya memilin jari-jarinya, sesekali membenarkan kaca matanya yang turun. Sudah hampir satu jam dia menunggu tapi orang yang ditunggu-tunggu belum juga memperlihatkan batang hidungnya.
Tinggal beberapa menit lagi bel masuk berbunyi, Nara tidak mau namanya merah di jurnal kesiswaan karena terlambat. Hal itu tidak akan bagus untuk keberlangsungan beasiswanya.
Namun, rasa takut dan kecemasannya sekarang lebih dari sekedar itu. Ada hal yang jauh lebih serius selain namanya merah di kesiswaan. Hal yang akan menentukan hidup dan masa depannya nanti.
Nara terkesiap sontak berdiri begitu mendengar suara pintu dibanting. Tepat setelah itu sosok cowok tinggi, jakung, berkulit putih dan rambut hitam legam muncul dari balik kusen pintu. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, berjalan mendekati Nara dengan wajah angkuh.
"Kak Revan,"
"Ngapain lo nyuruh gue dateng ke tempat beginian?!" ketusnya to the point sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan hidung
Nara meremas ujung roknya, keberanian yang selama beberapa menit lalu ia kumpulkan seolah menguap setelah berhadapan dengan Revano.
"Malah diem aja, udah cepet ngomong! Gue nggak punya waktu dan gue nggak mau ada orang yang liat kita berduaan di sini!!" ujarnya lagi dengan nada suara hampir membentak
"Aku hamil kak," ujar Nara akhirnya setengah memejamkan mata, menunggu reaksi Revan.
"Lah, terus hubungannya sama gue apa?" tanya Revan mengedikkan bahunya santai, suaranya jelas terdengar mengejek, "penampilan doang sok suci tapi sama aja sama cewek lain, murahan!!!"
Nara mendongakkan wajahnya menatap sejenak wajah itu lamat-lamat, "maksud kakak apa? Kakak nggak inget kejadian malam itu?"
"Cewek cupu, denger gue baik-baik, malam itu kesalahan dan gue udah lupain semua itu. Jadi, lo nggak usah berharap banyak mentang-mentang gue udah tidur sama lo terus lo bisa jadiin alasan itu buat deketin gue?" Revan menatap Nara dari ujung rambut hingga ujung kaki, "harusnya lo ngaca! Orang kayak lo sampai kapan pun nggak akan bisa bersanding sama gue!"
"Yang cantik aja belum tentu gue lirik apalagi yang model kampungan kayak lo?" Revan tertawa mengejek, "asal lo tau gue malah jijik setiap kali liat lo!!"
Sakit, tentu saja. Tapi, Nara tidak mau menangis di hadapan cowok itu karena ia tau Revano tidak akan bersimpati meski ia menangis darah sekali pun.
Yang bisa ia sunguhkan hanya ketegaran akibat dari keputusasaannya meski harus menerima segala penghinaan itu. Bukan hal baru bagi Nara karena sejak pertama kali ia menerima beasiswa di sekolah itu penghinaan dan ejekan sudah menjadi makan sehari-harinya.
"Kalau Kak Revan mikir aku bohong, Kakak salah." Gadis berkepang itu mengulurkan benda pipih ke arah Revan, dan wajah santai cowok itu seketika runtuh setelah melihat dua garis biru tercetak di atasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
REVANARA
Teen Fiction[FOLLOW SEBELUM BACA] **** Otoriter. Kaku. Kasar. Kejam. Ketus. Pemarah. Arogan. Angkuh. Bisa di bilang semua sifat buruk laki-laki melekat pada dirinya. Jika di sebutkan satu persatu, sederet paragraf tidak cukup untuk mendeskripsikannya. ...