[Sequel of Antistrafei]
Disarankan membaca Antistrafei terlebih dahulu
"Katanya, kalau kamu jatuh cinta dengan dua orang secara bersamaan, maka pilihlah yang terakhir, karena kalau kamu benar-benar mencintai yang pertama, kamu tidak akan berpaling k...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sean memeluk tubuh istrinya dari belakang. Perempuan itu tanpa sadar tersenyum hangat dan mengusap tangan kekar yang sedang melingkari tubuhnya.
Aroma blue tansy dari diffuser di kamar mereka menyeruak, menabrak dinding penciuman Dara yang memang kelopak gandanya sudah terjaga berpuluh-puluh menit lalu.
Pasca bertengkar hebat semalam perkara ulangtahun si kembar yang sempat ia lupa, Sean menjadi yang pertama mengibarkan bendera damai. Lelaki itu akan selalu menjadi yang pertama, kalau ditelisik di setiap pertengkaran mereka.
"Lupa itu manusiawi, Ra," bisik Sean tanpa berusaha terdengar bersih, lelaki itu mewajarkan ingatan lemah istrinya, lagipula melupakan tanggal kelahiran, sejatinya bukan kriminal.
"Tapi aku lupa karena aku terlalu sibuk mempersiapkan babymoon, Mas.... Ini tuh nggak wajar. Serasa aku nggak lagi peduli dengan anak-anakku dan hanya peduli tentang kita, tentang kamu, tentang kehamilanku aja."
Napas Sean menderu di tengkuknya. Ada lelah yang tersirat saat Dara mendengar suaranya. "Ra... Jangan mulai lagi, tolong. Ini masih pagi."
"Kamu yang membuka topik ini lagi, Mas."
"Dan Saya pengen topik ini selesai, boleh ya?" bisik Sean pelan. Dibaliknya perlahan tubuh Dara yang sedari tadi memunggunginya. "Morning kiss?" tanya Sean cepat ketika wajahnya berada tepat di depan mata Dara.
Dara tersenyum tipis, dikecup singkat bibir suaminya itu sebelum akhirnya ia beranjak. "Mau sarapan apa hari ini, Bambi?" tanyanya sambil memegangi perut. "Ah poached egg, Bunda. Poached Egg," ujar Dara pada dirinya sendiri, ia menghaluskan suaranya, seolah suara itu berasal dari anak Sean dalam perutnya.
Sean nyaris tertawa keras. Kini ia ikut menyingkap selimut yang menelungkup sebagian tubunya. Ia menarik pinggang sang istri, dikecup singkat perut Dara yang mulai terlihat menggunduk dan tidak rata itu.
"Telur lagi?"
Dara meringis dan mengangguk. "Anak kamu mintanya nggak susah dan nggak ribet."
"Emang telur kali ini bagian dari ngidam?"
Dara menaikan kedua alisnya. "Nggak tahu." Masih dalam pelukan Sean, Dara melihat ke luar jendela. Mengingat-ingat akan apa saja yang harus ia lakukan hari ini. "Tamu kamu, jam berapa?"
"Kalau mereka nggak telat, jam sembilan." Kedua kelopak ganda Sean yang tertutup mendadak terbuka, sebab dirinya baru mengingat sesuatu. "Lupa belum lihat data diri mereka."
Melepaskan pelukannya, tangan Sean bergerilya pada laci nakas, ia meraih ipad yang ada di sana dan buru-buru membuka email dari Nafa.
Dara, yang kini sibuk menata rambut, ikut duduk sambil melirik layar elektronik yang Sean pegang, mau ikut melihat siapa saja calon pegawai suaminya itu.
"Dito.. Administrasi Negara..."
"Revan... Sosiologi..."
Tangan Sean menggulir lagi layar sentuhnya ke samping, melihat sekilas data diri calon asisten pribadinya. "Kalandra... Perpajakan."