Chapter 42: Death Bell

587 61 11
                                    

Nafara Larissa tahu, dia tak akan pernah menang untuk mendapatkan hati Sean Brahmasta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nafara Larissa tahu, dia tak akan pernah menang untuk mendapatkan hati Sean Brahmasta. Laki-laki itu sudah seperti sapi yang diberikan ring di hidungnya. Budak cinta paling dramatis yang menyedihkan.

Percuma mapan dan tampan kalau otaknya hanya diisi dengan kebodohan, kan?

Perlu beberapa kali dirinya meyakinkan diri sendiri untuk membalaskan segala amarah yang disebabkan oleh Sean kepadanya. Lelaki itu mempermalukan dirinya dengan mengungkapkan semua hal sekaligus, membuat dia seperti wanita bodoh yang terjebak ke dalam sarang laba-laba miliknya. Sean menghinanya, memperlakukan dia sebagai penjahat paling menjijikan. Padahal dia juga sama jahatnya.

Sean, si lelaki wajah sendu itu tak polos seperti kelihatannya, dia kotor dan licik. Dia manipulatif dan dia menyebalkan. Dia mempergunakan kekuasaannya hanya untuk melindungi perempuan jalang yang tak tahu diri. Tahukah dia seberapa besar pengaruh dirinya yang memberontak dulu hingga menjadi penyulut apa bagi kaum proletar yang menyedihkan yang saat ini sedang berjuang untuk kesejahteraan dan kesejajaran?

Nafa menghembuskan napasnya pelan-pelan, ia memandangi rumah besar kedua orangtua Sean dari dalam mobilnya. Jemarinya masih di setir kemudi. Rumah itu tampak sepi, namun Nafa tersenyum senang ketika melihat mobil ibu Sean terparkir rapi di jajaran parkiran mobil empat meter di depannya.

Hari ini ia akan membalikkan keadaan.

Terkait fakta bahwa Dara melahirkan anak oranglain.

Meski Nafa tak tahu apakah kedua orangtua Sean sudah mengetahui rahasia ini atau belum, tapi dirinya tak peduli, dia tak akan tahu jawabannya sebelum dia mencoba membeberkan rahasia ini.

Nafa keluar dari mobilnya, dan berjalan menaiki delapan anak tangga, menuju rumah besar berwarna putih gading dengan aksen klasik di sana.

Satu kali ia mengetuk pintunya, jantung itu masih berdegup biasa saja.

Untuk kedua kalinya, disertai dengan seseorang yang membuka pintu, mendadak detak jantung Nafa begitu kencang.

Pembantu rumah tangga orangtua Sean mempersilahkannya untuk masuk dan duduk di ruang tamu. Nafa menunggu sang tuan rumah, ia tersenyum memasang wajah ramah saat wanita yang tak lagi muda--namun tetap cantik, menghampirinya.

"Tante Tamara..."

"Nafa..." Perempuan itu memeluk mantan calon menantunya dengan pelukan hangat, dan mempersilahkan Nafa untuk kembali duduk. "Gimana kabar kamu, sayang? Mama kamu gimana?"

Tamara, memang sudah jarang berkabar dengan ibu Nafa, ia hanya mendengar sekelebat cerita dari teman-teman arisannya, dan tak ingin tahu lebih jauh. Semakin ia tahu, dirinya semakin merasa tak enak, sedikit banyak, keadaan keluarga Nafa yang hancur karena ulah putranya, Sean.

"Baik Tante.." sunggingan senyum tak hilang dari wajahnya. "Tante gimana? Om Surya?"

Demi Tuhan, perempuan itu mual ketika menyebutkan nama Ayah Sean itu. Surya Brahmasta adalah orang yang tak bisa dirinya maafkan. Mengiming-imingi Papanya agar bekerja sama, namun ketika jatuh, Dia menyelamatkan diri sendiri. Menjijikan.

Reversed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang