Chapter 32: A Friend

532 54 14
                                    

Sean menelungkupkan kepala di meja kantornya saat Farrel masuk ke dalam ruangannya, bersama rekan-rekan Sean yang lain seperti Adit, Dava, Karin, dan tidak ketinggalan, Larissa Nafara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sean menelungkupkan kepala di meja kantornya saat Farrel masuk ke dalam ruangannya, bersama rekan-rekan Sean yang lain seperti Adit, Dava, Karin, dan tidak ketinggalan, Larissa Nafara. Lelaki itu mendongak dan mengangguk, ia mengambil napas panjang. Wajah yang tadinya murung kini berubah menjadi wajah semangat penuh keprofesionalan dari dirinya.

"Mantan kader partai kita, ada yang nggak setuju, mereka malah mengusulkan kamu untuk mundur dari calon menteri. Apa itu masuk akal?" Adit membuka suara pertama kali, ia menyalakan rokoknya dan membuang asap itu ke udara.

Meeting pagi yang terlalu santai, rupanya.

"Mereka udah nggak ada hubungannya lagi dengan kita, nggak usah dipikirin banget," ucap Karin menenangkan. "Yang perlu dipikir itu.... cara kita bangun gedung partai baru di Selatan Banyu dan di Majabiru yang kemaren habis dibakar orang."

"Bukan saatnya kita mikirin itu, suksesi acara sumpah menteri dan serah terima jabatan terus pelantikan itu yang harus dipikir." Farrel membuka air mineralnya dan meneguk hampir habis isinya.

"Sean, menurut kamu gimana?"

"Nggak usah dipikirin semua itu. Satu, mantan kader partai kita itu bukan lagi urusan kita. Dua, kita bisa membangun lagi gedung partai kapanpun kalau ketersediaan dananya udah turun. Tiga.... untuk apa mikirin suksesi acara yang udah digarap dengan baik oleh panitia acaranya?" Satu persatu orang yang bicara barusan ditatap lelaki itu. "Yang harus dipikirin sebagai menteri sosial yang baru itu, harusnya program kerja apa yang efektif untuk mensejahterakan rakyat."

Nafa tertawa keras saat Sean bicara seolah dia adalah pahlawan bagi rakyat, padahal kenyataannya Sean sama berdosanya.

"Ada yang salah, Nafa?"

Nafa berjalan menghampiri meja Sean, lalu duduk di atasnya. Sambil melihat kuku, dia tersenyum miring. "Sampai kapan...."

Kening Sean berkerut, Nafa menggantungkan kalimatnya hingga membuatnya menunggu kelanjutannya. "Sampai kapan kamu ada di dua sisi Sean?"

"Kamu pilih hitam, atau putih?" tanyanya. "Karena abu-abu nggak berlaku dalam pemerintahan." Nafa semakin melebarkan senyumnya. "Kamu mau membela golongan kamu, tapi tetep ingin masyarakat sejahtera, itu susah lho. Banyak kepentingan partai yang kamu emban di tugas ini."

Sean baru saja akan menjawab Nafa ketika telepon genggamnya bergetar di saku celana, lelaki itu melirik sekilas pada rekannya dan berpamitan untuk mengangkat.

Dari Kalandra.

Bermenit-menit Kalandra bicara, mengenai seorang Daniel Airlangga yang mengetahui perihal sepupunya. Kalau dibiarkan menyebar luas, mengenai dia yang membebaskan sepupunya dari rumah sakit jiwa, padahal sepupunya sedang mendekam di penjara harusnya, karena membunuh beberapa orang, dapat menimbulkan masalah serius yang akan membawa dia dan nama baik keluarganya jatuh lagi.

"Oke Kalandra, nanti saya pikirkan ya."

Sean meletakan ponsel itu kembali ke saku celananya. Jemari lelaki itu memijat keningnya. Masalah tidak akan meninggalkannya sendiri rupanya.

Reversed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang