Chapter 17: In Between, Egoism

643 80 5
                                    

Rasa lelah seorang perempuan hamil memang tak bisa disandingkan dengan rasa lelah lelaki itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa lelah seorang perempuan hamil memang tak bisa disandingkan dengan rasa lelah lelaki itu. Tapi yang membuat Sean khawatir, Dara belum makan sejak menginjakan kaki di rumah, dan merebahkan diri di kasurnya. Mengerti keadaan lelah istrinya, namun terpaksa membangunkan perempuan cantik bibir delima yang sedang pulas.

Bahkan untuk urusan sepele seperti ini, Sean dilema.

Merapikan helai demi helai rambut panjang sang istri, Sean mulai memanggil nama Dara dengan suara pelannya. Mencipta gerak-gerak halus dari yang punya nama karena tentu saja perempuan itu dapat mendengar panggilan Sean untuknya.

"Mas ngantuk nih," respons sederhana yang keluar dari bibir Dara usai panggilan ke empat.

"Abis makan, tidur lagi ya? Anak-an—"

"Anak-anak kenapa?" potong Dara, sebagai refleks atas pernyataan Sean. Naluri seorang ibu, mendengar apapun menyangkut anaknya, pasti akan sebegini bertenaganya.

"Anak-anak nanyain kamu," lanjut Sean ketika istrinya telah membuka kelopak ganda berhias bulu lentik tanpa polesan itu. "Bunda mana ayah, kata mereka."

Dara menguap dan meregangkan ototnya, selimut tebal itu ia singkap, disusul dengan tangan yang sibuk menguncir surai panjang yang akhir-akhir ini terasa begitu membuatnya kepanasan. "Aku janji sama mereka untuk main waktu kita sampai, malah tiduran lama," sesal Dara yang berdiri untuk mencuci muka.

"Kamu makan dulu, biar Mas yang ajak mereka main. Perut kamu kosong, kasihan itu anak kita kalau bundanya belum makan." Sean ikut beranjak. "Bibi udah nyiapin sop ayam sama daging asap."

Sekembalinya dari kamar mandi, Dara melirik jam dinding yang sekarang menunjukan pukul setengah tiga sore. Tebakan Dara, Sera pasti sedang sibuk dengan boneka dan istananya, sedangkan Yonaviar pasti sedang menonton tivi.

Baru akan melangkah, Dara merasakan ketegangan pada otot-otot perutnya sampai-sampai ia terhuyung beberapa langkah ke belakang.

"Mas, perutku kram lagi deh ini," beber Dara pada suaminya saat baru berjalan ke arah pintu. Ini sudah kali keempat dalam satu minggu, perutnya kram begini. Kata dokter Merlin ini wajar sekali, tapi tetap saja kalau terlalu sering, mengkhawatirkan juga.

Sean yang panik tetapi berusaha tetap tenang, menuntun Dara untuk kembali duduk di kasur mereka. "Makannya Mas ambilin aja deh ya? Kamu—"

"Nggak mau ah kayak orang sakit makan di kamar," tolak Dara halus. "Tuntun aku aja sampe ruang makan ya?"

Dara si keras kepala seperti biasanya, Sean yang pasrah juga seperti biasanya. Penolakan sekaligus tawaran barusan jelas dibalas anggukan sukarela. "Besok siang temuin dokter Merlin ya, sama Mas."

Menaikan kedua alis dan mengangguk, Dara tampak setuju. "Ayo turun."

Mempertimbangkan beberapa hal, Sean berencana memindahkan kamar mereka di lantai bawah, setidaknya sampai Dara melahirkan. Dulu, semasa tinggal di penthouse, mereka memiliki tangga juga lift sehingga resiko lelah istrinya saat hamil si kembar tak begitu terlihat. Tapi kini, tangga panjang menurun begitu menyeramkan bagi Sean, apalagi membayangkan Dara dan tindakan ya yang super ceroboh.

Reversed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang