Kalau saja pernikahan dengan Sean tak sememikat itu, mungkin Dara sudah mundur dari awal. Hidup bahagia tak bisa dirasakan semua orang, termasuk dia dan mimpinya. Ucapan Sean di depan pintu apartemen yang disewanya untuk tinggal selama beberapa hari, menegaskan padanya bahwa Sean berjanji untuk menyerah. Bukan melega tentang keputusan apa yang diambil suaminya, Dara memiliki batu besar yang bersemayam di hatinya. Jika ini hanya sekedar hidup menjanda tentulah dia tak akan semenyedihkan ini. Semua hal yang terjadi di depannya, ini lebih dari menjemput titel belaka. Perasaan ini pernah dilewatinya beberapa tahun lalu, nyaris sama, hanya berbeda waktu dan tingkat deritanya saja.
Dulu, masih ada bahu yang dia pinjam untuk bertahan. Dulu, masih ada tempatnya untuk berlari. Dia punya sahabat dan rumah lelaki lain untuk disinggahi. Bukannya Dara ingin kabur lagi, tapi jujur saja ia ingin bersembunyi.
Sean membuka pintudi sisi kiri istrinya, memaksa Dara untuk menyeka air mata dan turun dari mobilnya.
Tamara sudah berada di pintu masuk rumah, membuka kedua tangannya lebar-lebar agar Dara menghambur ke peluknya. Perempuan itu langsung mengusap punggung Dara dengan penuh rasa haru ia menyeka air matanya karena ikut khawatir akan kepergian menantunya itu.
"Andara..." Tamara benar-benar tak kuasa lagi menahan semuanya. Kemarin malam, sengaja dia pergi ke rumah anak semata wayangnya itu, niat hati untuk bertemu dengan menantu dan cucunya karena sudah cukup lama tak berkabar dengan mereka. Tapi sesampainya di rumah Sean, hanya didapati suara getir anaknya yang seberantakan itu, mendengar keluh Sean, sebagai ibu tentu Tamara tak sampai hati.
Perlakuan kejam mana lagi yang dunia berikan pada pernikahan mereka? dulu, ia sempat menjadi batu sandungan bagi dua insan yang saling cinta itu, tapi kini dia tak rela ada lagi batu sandungan di kehidupan pernikahan anaknya, barang sekecil batu kerikil pun. Tahu duduk permasalahannya, Tamara tak ingin menyalahkan siapapun. Sean dengan keputusasaannya untuk melindungi nama keluarga, dan Dara dengan kekecewaan terhadap suaminya. "Dara, maafin anak Mama ya, Nak?" lirihnya di telinga sang menantu yang sukses mencipta tangis luar biasa deras dari Dara. "Maafin Sean ya Ra, ya?"
Tak ada jawaban dari Dara yang sejatinya tak tahu harus menjawab bagaimana? kehidupan rumah tangganya yang sudah hancur berantakan di depan. Apa lagi yang patut dilakukannya? Tamara mempersilahkan menantunya untuk masuk ke dalam rumah. Dara mengangguk dan melepas pelukannya. Ia berjalan masuk, diikuti kedua anak kembar dan adik lelakinya.
Kini wajah Tamara beralih pada Sean yang tak lagi sanggup mengangkat dagu. Matanya turun kebawah, seolah menggerai bahagia dan melunturkan kesedihan yang mustahil dilakukannya.
"Sean," panggil Tamara lembut. "Sean, Nak...."
Tangan seorang ibu merangkul putranya yang mungkin sedang hancur berkeping-keping dari dalam. "Mama... i've comitted much unimaginable sins." Masih menunduk, Sean menelan salivanya dan menangkap wajah sang ibu. "Bahkan saya nggak bisa maafin diri saya sendiri Mama. Saya merusak pernikahan saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Reversed ✓
Roman d'amour[Sequel of Antistrafei] Disarankan membaca Antistrafei terlebih dahulu "Katanya, kalau kamu jatuh cinta dengan dua orang secara bersamaan, maka pilihlah yang terakhir, karena kalau kamu benar-benar mencintai yang pertama, kamu tidak akan berpaling k...