[Sequel of Antistrafei]
Disarankan membaca Antistrafei terlebih dahulu
"Katanya, kalau kamu jatuh cinta dengan dua orang secara bersamaan, maka pilihlah yang terakhir, karena kalau kamu benar-benar mencintai yang pertama, kamu tidak akan berpaling k...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
I'm waiting up, saving all my precious time Losing light, I'm missing my same old us Before we learned our truth too late Resigned to fate, fading away
"Yep. I'm okay."
at least, i try to be okay.
Gama mematikan panggilan dari kakaknya dan tersenyum getir. Apanya yang baik-baik saja ketika sekarang dia hanya memandangi jalanan kota Amsterdam dari dua jam lalu. Dari tadi kopi yang ia pesan di Park Cafe-Restaurant dekat hotel Arena tak tersentuhnya barang sedikit. Kepulan asap yang tadinya membumbung perlahan menghilang. Empat hari berada di negeri orang, menetap di hotel bintang empat, belum ada satu haripun ia sempatkan untuk mengunjungi alamat tempat Sara dan adiknya tinggal. Sean, kakak iparnya mungkin sudah susah payah melacak keberadaan perempuan itu untuknya, tapi nyali Gama tak pernah besar untuk berjalan ke sana. Early Van Gogh Apartements, Saenredamstraat 23, CA Amsterdam, Netherlands. Mata Gama terus menerus membaca alamat itu.
Ketakutan tak berdasarnya harus segera dihilangkan, untuk apa jauh-jauh melancong pergi ke negeri orang, di tengah situasi pelik negeri sendiri, meninggalkan kakaknya yang tengah hamil--menuju tua, meninggalkan keponakannya jika terus berdiam begini.
Gama berjalan ke arah parkiran mobil, mobil sedan hitam yang disewanya untuk beberapa minggu yang tidak menemaninya kemanapun selain keluar hotel demi mencari makan, akhirnya ia gunakan ke tempat yang seharusnya menjadi tujuannya.
Lelaki itu memacu mobilnya melewati sungai Amstel. Hanya tujuh menit waktu yang dibutuhkan Gama menuju jalan Saenredam. Benar, hanya tujuh menit dan dirinya sampai di depan gedung tempat mantan pacarnya itu menetap. Bangunan yang lumayan besar dan terlihat fancy.
Gama meraih rokoknya, dia ingin merokok dulu di mobilnya, dengan kaca yang terbuka sedikit. Dia tertawa begitu melihat rambu dilarang merokok empat meter di depannya. Dia akan dihukum bila ketahuan. Sepuluh menit berlalu ketika Gama memberanikan diri untuk masuk ke bangunan itu. Ia memastikan nomor unit tempat Sara tinggal, lalu berjalan menaiki tangga untuk naik.
Lagi-lagi waktu diperlukan Gama untuk menenangkan diri, merangkai kata yang ingin disampaikannya pada perempuan itu dan mencari ekspresi yang pas untuknya berhadapan langsung dengan perempuan yang meninggalkannya. Meski, kabar dia pergi dengan lelaki lain itu terbantah usai informasi yang Sean berikan terkait dengan siapa Sara tinggal.
Gama menarik napas panjang, lalu menekan bel apartemen Sara. Hanya sekali saja. Gama tak ingin mengganggu, barangkali Sara sedang tidur atau apa. Tidak sampai satu menit usai Gama menekan bel, pintu terbuka. Perempuan yang Gama rindu berdiri di sana sambil membelalakan mata. "Gam....a.." lirih Sara pelan, hampir tak percaya dengan pengelihatannya. Suaranya serak, matanya begitu sembab.
"Halo, Sara..." Gama memaksa sebuah senyum dan mengangkat tangan, ketika Sara tiba-tiba menjatuhkan diri di kakinya. Lelaki itu jadi bingung sendiri, terakhir kali bicara dengan Sara, perempuan itu begitu dingin, namun kini bukan dingin yang Gama temukan, melainkan Sara yang rapuh dan lemah.