Chapter 21: Runner

648 65 9
                                    

"Sean mau saya kirim ke Amerika, Tamara, jangan bantah saya!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sean mau saya kirim ke Amerika, Tamara, jangan bantah saya!"

Bentakan lagi-lagi keluar dari mulut Surya, Sean mendengarnya dari lantai dua rumah. Sambil melihat langit-langit kamarnya yang setengah terbuka. Ia tersenyum masam, wajahnya terlihat sudah terlalu lelah karena seharian penuh mengurusi organisasi kampus lalu ikut ayahnya pergi menemui salah satu anggota partai, katanya sekalian belajar berpolitik padahal yang Sean tahu dari pertemuan tadi adalah, sogokan yang diterima Papa terkait pencalonan diri rekannya satu partainya.

"Surya, tapi anak kita--"

"Anak saya Tamara, Anak saya."

"Aku yang ngelahirin dia!"

Sean tidak memiliki hidupnya sendiri, sejak kecil hidup dia milik Papa seorang. Ia meringis dan meraba tulang keringnya yang akhir-akhir ini sering merasa gering menyakitkan , mungkin efek operasi delapan tahun lalu baru sekarang terasa pedih, pikirnya. Luka ini ia dapat saat duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, dipukul Papa dengan tongkat golf karena ia gagal lomba debat internasional yang diadakan di Jerman.

Rintihan semakin keras saat ia justru menekan bekas jahitan yang telah berubah menjadi luka kecil. Bukan sakit dengan arti sesungguhnya, tapi hanya perwujudan jiwanya yang lelah saat suara tamparan mendarat. Entah dari tangan Mama untuk Papa atau sebaliknya.

Suara getar ponsel menyadarkan dia bahwa ada urusan yang penting sedang menunggu. Besok pagi, dia harus berpidato di hadapan Mahasiswa baru universitas, tetapilembar pidatonya itu tertinggal di lantai dua gedung sekretariat BEM. Dengan perasaan campur aduk, ia berusaha bangkit dari duduknya dan berjalan menuruni tangga.

"Kamu terlalu lemah sama anak itu, gampang diperdaya. Dia harus tumbuh jadi laki-laki kuat, dia mau terjun di masyarakat, mau menggantikan posisi saya di pemerintahan, kalau sedikit-sedikit kamu khawatir, bisa apa anak itu?"

Tak menoleh sedikitpun, Sean menuruni tangga dan pergi, melewati dua orang yang sedang berdebat di ruang tamu keluarga.

"Mau kemana, Sean?" Suara Tamara masih terdengar kesal.

"Kampus."

Jawaban Sean cukup membuat Surya tertawa keras. "Lihat, Tamara, lihat? anak ini apa punya sopan?"

Desah kasar keluar dari belah bibir Sean yanng mulai keluar dari bangunan rumahnya, tak lagi mengindahkan teriakan dari dalam, merasakan udara dingin kota Kamandaka yang habis diguyur hujan seharian penuh tampak lebih baik ketimbang merasa hangat di rumahnya sendiri, kehangatan itu menipu.

Dalam perjalanan, pikiran Sean berkecamuk saling bersahut. Apabila, dirinya membanting stir kemudi dan mobil yang dikendarai dia menabrak pembatas jalan lalu terbalik, apa dia akan langsung mengalami kematian? Kalau dia pergi, apa perdebatan soal masa depannya akan berhenti? Tuntutan yang tak berujung sejak dulu selalu diterimanya, Sean penasaran bagaima rasanya bisa terbebas dari hal pelik semacam itu?

Reversed ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang