Sick

8.9K 1.2K 40
                                    

Cup.

"Pagi, cantik." Ten tertawa mendengar pujian pria yang baru saja mencium pipinya. Tangannya lalu menuangkan kopi ke dalam cangkir milik anak sulungnya. Hendery menyesapnya perlahan sebelum mengambil satu lembar roti dan menggigitnya.

"Pagi ganteng. Sarapan roti?"

"Tumben Mama gak masak?" Ten mengarahkan dagunya ke arah satu sosok besar yang menyandarkan separuh badannya di meja, matanya terpejam tapi tetap mendengarkan obrolan kedua orang di sampingnya.

"Bayi gedenya sakit Der." balas Ten, tangannya membawa satu mangkok bubur untuk sarapan sang suami. Pria mungil itu lalu segera duduk di samping Johnny, bersiap menyuapi bayi besarnya.

"Belum juga sebulan ditinggal anaknya, udah sakit aja nih Bapak Suh." ejek Hendery, disambut oleh dengusan oleh yang disindir. Ten tertawa menyaksikan pertengkaran dua pria di hadapannya. Satu pria dengan setelan formal, kemeja dan celana bahan dan satu lagi adalah pria dengan kaos dan celana pendek, memasang wajah khas baru tidurnya.

"Kamu kangen anakmu?" Johnny menggelengkan kepalanya pelan, karena pusing yang langsung menyerang jika dirinya menggerakkan tubuhnya terlalu banyak. Ten hanya bisa kembali tertawa saat Hendery berdecak tidak percaya. Padahal tanpa ditanya, sudah jelas oknum Seo Johnny memang sakit karena ditinggal oleh putra bungsunya.

"Der, gantiin Papa dong." bujuk Johnny pelan, mengunyah bubur yang disuapkan Ten kepadanya. Posisinya kini sudah berubah menjadi duduk, bersandar ke punggung kursinya. Menikmati sarapan yang dibuatkan Ten. Hendery menggelengkan kepalanya, menolak permintaan sang ayah. Meski sederhana, permintaan Johnny hari itu bukan hanya sekedar menggantikan pekerjaan Johnny selama pria itu sakit. Sudah menjadi rahasia umum jika Johnny ingin Hendery menggantikan posisinya di perusahaan. Atau setidaknya mengambil jabatan untuk suatu hari nanti menggantikannya, tapi Hendery selalu menolak dengan alasan belum siap bekerja di perusahaan papanya. Ten bahkan harus menjadi saksi perdebatan sengit dua pria itu, terutama ketika Hendery justru bersikeras ingin menyelesaikan studinya terlebih dahulu, juga masa magangnya di kantornya yang sekarang.

"Kemaren perjanjiannya gak gitu lho Pa. Katanya aku boleh kerja dulu di tempat lain, mumpung belum lulus." keluh Hendery, mengingatkan janji sang papa saat mereka berdebat tempo hari. Dengan Johnny akhirnya mengalah membiarkan Hendery mengambil magang bukan di perusahaan miliknya.

"Perusahaan Papa siapa lagi yang pegang kalau bukan kamu." debat Johnny cepat. Di antara kedua anaknya, Johnny dan Ten memang dikaruniai pembagian yang cukup adil. Haechan dengan tubuh lentur dan kemampuan mengingat yang baik, pada akhirnya memilih mengikuti jejak sang mama, ikut mengajar di sekolah menari milik pria Thailand itu. Sedangkan Hendery, akhirnya melanjutkan kuliahnya karena digadang-gadang akan menggantikan posisi sang ayah. Tapi pria yang sedang menempuh tahun terakhir kuliahnya itu akhirnya memilih magang dan bekerja di perusahaan lain terlebih dahulu untuk menghindari stigma bahwa dirinya hanya memanfaatkan koneksi sang ayah untuk mendapatkan jabatan. Juga karena Hendery merasa perlu melihat dunia luar sebelum benar-benar diberi tanggung jawab untuk mengurus perusahaan Johnny.

"Kan Dery perlu cari pengalaman dulu Pa." Hendery melirik ke arah samping, tidak tega dengan ekspresi suram yang ditampilkan Johnny. "Tahun depan deh tahun depan. Tahun ini aku lulus, langsung pengajuan resign. Oke Pa? Oke ya." tawar Hendery cepat, mencoba memberi opsi yang menguntungkan kedua belah pihak. Yang tidak juga, karena Hendery sebenarnya belum siap mengurus perusahaan sang papa, tapi ya sudahlah.

"Iyain ajalah Pa, taun depan cepet kok." potongTen cepat, sebelum kedua pria itu berdebat semakin panjang. Seperti biasa, Johnny menuruti kalimat yang keluar dari bibir Ten sebagai titah yang harus dipatuhi.

"Thank you Mama cantik. Aku berangkat dulu. Jangan lupa telpon anaknya, Pa, biar kangennya ilang." Ten tertawa mendengar kalimat pamit yang diucapkan Hendery, lalu melambaikan tangannya. Membiarkan putra sulungnya berangkat bekerja. Tangannya sudah akan kembali menyuapkan satu sendok penuh berisi bubur ketika ditahan oleh pria di sampingnya. Alis Ten mengerut bingung, tidak mengerti kenapa Johnny tiba-tiba justru menghentikannya.

"Telponin Haechan." Ten terbahak ketika akhirnya suaminya mengakui bahwa dirinya merindukan sosok matahari kecilnya. Berdiri untuk mengambil ponselnya, Ten mengusak perlahan surai hitam sang suami, yang langsung menyembunyikan mukanya di antara lengannya, malu.

"Okay okay big baby. Let's call uri Haechanie."

"Thank you Chit."

***

Ini se-timeline sama "sorry" di close to you wkwkwkk

Johnny oh Johnny! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang