Kapan

11.1K 1.6K 234
                                    

Johnny mengulurkan tangannya yang membawa cangkir berisi air hangat ke arah sosok yang berada di depan wastafel, sibuk mengatur napasnya yang pendek-pendek. Pria tinggi itu mengeluh dalam hati, tidak tega menyaksikan sosok mungil di hadapannya lagi-lagi mengalami kesulitan makan dan lebih banyak harus memuntahkan isi perutnya.

"Pa, please. Papa boleh marah sama aku, bentak aku, katain aku, tapi jangan diemin aku kayak gini." Pintanya, menerima cangkir dari tangan papanya dan menyesapnya perlahan. Mencoba mengurangi rasa mual yang naik perlahan di tenggorokannya.

"Derrrry, buruan turun. Nanti kesiangan kamu." Johnny menghindari pandangan mata memohon dari anak bungsunya dan beralih memanggil anak sulungnya.

"Baru juga jam enam Pa, mau ngapain berangkat sekarang? Nyapu halaman sekolah?" Teriakan balasan Hendery membuat Johnny tersenyum canggung ke arah Haechan. Tangan Johnny lalu memijit tengkuk anaknya yang kembali memuntahkan isi perutnya.

"You okay?" Tanya Johnny dengan sorot mata khawatir.

"Not really." Haechan menggelengkan kepalanya lemah, sembari menjawab pertanyaan papanya. Wajahnya terlihat semakin pucat karena belum ada makanan yang masuk ke dalam tubuhnya. Johnny menahan diri dari berdecak kesal karena sejak pertama mengetahui hubungan anaknya dengan sang kekasih, belum sekalipun dia mendapati kekasih anaknya itu di hadapannya.

"Tanya pacarmu, kapan mau nikahin kamu. Papa gak mau kamu ngelewatin ini semua sendirian."

"Iya, nanti aku bilang ke Kak Mark." Haechan mendekat ke arah papanya yang menatapnya bingung. Yang lebih muda lalu memeluk tubuh tinggi besar di hadapannya dan menangis tersedu. "I'm sorry for being a burden for you and Mama. I'm sorry for disappointing you. Please please please marahin aja akunya, gapapa."

"Ayo sarapan dulu."

"Papa marahin aku dulu." Desaknya keras kepala, bersikukuh tidak mau diajak Johnny beranjak ke ruang makan.

"Nanti Papa marahin kalau kamu mau makan banyak." Bujuk Johnny lagi, mencoba sekali lagi mengajak anaknya untuk makan. Bukannya bergerak, Haechan justru semakin mengeratkan pegangannya di baju yang dikenakan sang ayah. Juga semakin merangsek memeluk ayahnya di sela-sela sesenggukannya, mencium aroma maskulin dari tubuh pria tinggi itu yang ternyata mampu menenangkannya.

"Kamu mau makan apa? Roti? Nasi? Daging?" Tanya Ten begitu suaminya berhasil menyeret anak mereka ke meja makan, masih dalam kondisi tersedu. Tangan pria itu mengelus lembut surai putranya, ikut menenangkan tangis sesenggukannya.

"Marahin dulu." Alis Ten naik, menuntut penjelasan dari suaminya. Menggeleng singkat, Johnny memberi isyarat akan menceritakannya nanti.

"Kan Papa bilang, makan dulu yang banyak. Baru nanti dimarahin."

"Beneran? Papa gak boleh bohong." Ancamnya galak, membuat tiga pria dewasa lainnya tertawa karena kalimatnya. Melunturkan aura tegang yang sebelumnya melingkupi keluarga mereka.

"Iya. Sekarang duduk manis. Makan makanan yang udah disiapin Mama. Oke?" Haechan mengangguk singkat, menerima uluran piring dan mulai mengisinya dengan beberapa makanan buatan mamanya. Membuat yang lain menghembuskan napas lega karena akhirnya Haechan mulai menghabiskan makanannya.

***

Johnny oh Johnny! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang