34. World War

60.3K 7.9K 3.3K
                                    

Next part 2,5k vote dan 3k komen (no spam macem next, gitu2 boleh kan ya)??

***

"Mbak, boleh minta tolong masukin ini ke dalem gak?" Carissa memberikan tatapan memelas ke arah Sheryl sambil menggoyangkan tumpukan berkas dalam pelukannya. Setelah bermenit-menit berdiri di depan pintu dengan label 'Direktur Utama', gadis itu memilih melangkah mundur dan menemui Sheryl yang baru datang.

"Kenapa?"

Gadis yang mengenakan dres batik itu mendekatkan bibir ke telinga Sheryl, "lagi bete banget dia, Mbak. Gue beneran takut kena semprot," lanjutnya dengan pelipis yang mulai keluarkan keringat.

Sheryl menyengir seadanya, dia meletakkan tas di atas kursi, "yaudah, sini," ucapnya sambil mengoper belasan perkas dari manager project yang butuh acc alias tanda tangan dari Direktur Utama.

Sheryl kemudian melangkahkan kaki ke depan ruangan yang tidak jauh dari kubikelnya dan Carissa, mengingat mereka sama-sama menjabat sebagai Sekretaris Direktur. Perempuan itu mengetuk pintu sopan beberapa kali sebelum masuk ke dalam. Mendapati atasannya sedang duduk dengan muka ditekuk dan memelototi berkas-berkas di atas mejanya, dia berdehem singkat.

"Tambahan, Pak," ucap Sheryl sebagai basa-basi.

Pria itu hanya mengangguk tanpa melirik sedikitpun ke arahnya.

"Saya gak punya janji apa-apa lagi, kan, hari ini?"

"Nggak, Pak."

"Ok."

Tidak punya urusan apa-apa lagi, Sheryl segera keluar dari sana setelah memperhatikan atasannya itu sebentar.

"Dia kenapa lagi, tuh?" tanyanya pada Carissa, lalu duduk di sebelanya

"Dari tadi pagi udah begitu, Mbak. Terus ditambah Rapat Direksi mendadak karena dia kesal target subsidiary nggak sesuai ekspektasinya. Juga sempat ditelpon Pak William, makin-makin itu dia kelihatan betenya. Bisa-bisa gue lagi nih yang jadi korban."

Sheryl hanya tertawa. Kalau Direktur Utama mereka itu dalam suasana hati yang buruk, pelampiasan utamanya ya kalau tidak Carissa, pasti Sheryl, karena mereka bekerja langsung dengannya. Tidak seperti staff-staff lain di mana mereka punya kepala devisi atau manager tersendiri, kalaupun mereka berbuat salah yang merugikan persoalan kantor sekalipun, yang mengurusi itu atasan langsung mereka.

Menurut Carissa, tidak ada yang lebih nyelekit dibanding digalakin oleh pemegang jabatan tertinggi di perusahaan itu. Kalau ada apa-apa, bisa-bisa dia langsung disepak keluar saat itu juga.

"Heh, dia mah biasa aja itu ngomelnya. Lo gak pernah lihat Bianca ngamuk? Atau si Pak Rahmat tuh yang sampe gebrak meja, dan bawahannya dicaci pas di depan banyak orang?Pak Ghidan mah paling cuma disindir-sindir dikit, terus udah deh, gak pake nada tinggi juga."

"Tapi, omongannya langsung nancep dan bikin mental breakdown, Mbak. Dia mah gak usah ngomong, tatapannya aja udah bikin gue mau nangis."

Sheryl cuma geleng-geleng. Dia tahu kalau Carissa punya 'trauma' sendiri dengan Ghidan. Sudah dua kali dia nangis karena pria itu, walau memang awal mulanya disebabkan kesalahan Carissa sendiri. Namanya juga sekretaris baru yang masih butuh banyak penyesuaian, masih fresh graduated yang baru nyadar kalau dosen killer dikampus tidak ada apa-apanya dibanding bos di kantor.

"Elo sih emang butuh latihan mental lagi aja!" komentar Carissa mencibir.

Carissa itu cantik. Badannya ramping. Dia punya banyak previllage karena kecantikannya. Ekspresinya yang ramah bisa bikin dia cepat dekat dan disukai orang, terutama laki-laki. Tapi, itu tidak mempan dengan Ghidan. Pria itu malah seperti punya alergi dengan perempuan-perempuan cantik macam Carissa. Atau Bianca, kepala devisi yang membawahi Aruna. Sebelum ada Aruna pun, mereka sudah sering berselisih paham. Apalagi semenjak ada Aruna, makin-makin itu berdua saling melempar perang dingin, walau Bianca tentu tidak bisa menyerang secara langsung.

Marriage Blues (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang