TRIGGER WARNING
***
Perempuan itu tampak linglung sembari mencari ponselnya di sekitaran tempat tidur.
Kelinglungannya semakin menjadi ketika dia menemukan ponselnya, dan melihat angka-angka yang tertera pada layarnya.Pukul 12 lewat 10 siang hari. Terdapat 60 panggilan tak terjawab. 30 chat whatsapp dan 25 iMessages belum dibaca.
Bagaimana bisa Keira baru membuka mata tengah hari begini? Dia harus mendampingi Michella untuk menghadapi Jaksa Penuntut Umum sekitar pukul sembilan, juga sudah mengaktifkan beberapa alarm dari pukul lima pagi! Kenapa dia tidak bangun tepat waktu?
Hal berikutnya yang dilakukan perempuan itu adalah menghubungi Danu, mengingat 40 panggilan tak terjawab semuanya dari Danu. Untungnya, Danu langsung menjawab pada deringan-deringan awal.
"Nu, gue ..." Keira ingin menjelaskan kalau dia tidak bermaksud mangkir dari tanggung jawab dan bagaimana dengan kasus Michella. Sayangnya, suaranya yang parau dan kepalanya yang pening membuatnya kehilangan kata-kata.
"Are you okay?" tanya Danu memotong. "Kei?" sapanya lagi karena Keira belum juga menjawab.
Dia memejamkan matanya erat untuk meminimalisir rasa sakit pada pada kepala dan perutnya.
"Ya, I am okay," balasnya masih parau. "Sorry banget gue ketiduran, ini bukan ketiduran biasa, gue..." jelasnya kemudian, masih terpotong-potong. Well, rekan kerja mana yang terima alasan ketiduran sampai siang hari di hari kerja? "Kasus Michella gimana?"
"Udah gue tanganin, sekarang gue masih di kejaksaan," balas Danu seadanya. Toh nama mereka berdua yang tercantum pada surat kuasa. Jadi, Danu juga bisa mewakili Michella dalam kasus tersebut.
"Lo sakit, Kei? Mau gue samperin?"
"Gak," jawab Keira cepat dan singkat. "Bentar lagi gue su...hueeek" perempuan itu menegak salivanya kesusahan. "Sul," lanjutnya susah payah.
"Lo sakit," tegas Danu yakin. "Istirahat dulu aja, please," pintanya lagi. "Atau gue antar ke dokter?" ungkapnya mulai khawatir.
Ini tumben dia tidak mau mengomel atau semacamnya? Jelas-jelas Keira merugikan kantornya dalam hal ketidakprofesionalannya ini.
"Gak usah, Nu. Nanti gue telepon lagi ya."
Baiklah, sambungan telepon itu sudah tertutup. Keira bisa fokus meredakan sakit pada kepalanya yang makin menjadi sampai perutnya pun ikutan mual. Tangannya bingung mau menahan bagian mana terlebih dahulu. Matanya yang sedikit kunang-kunang tertuju pada strip dan botol obat yang berserakan di kasurnya.
"Damn you, Keira!" Dia memaki dirinya sendiri.
Berapa banyak obat tidur yang semalam dia teguk? Keira bukan tipikal yang memperlakukan obat seenaknya, apalagi obat-obatan dengan efek adiktif. Dia selalu mengikuti ketentuan dokter, makanya dia berhasil menghentikan ketergantungan beberapa bulan terakhir.
Namun, apa yang dilakukannya tadi malam sampai mendadak memilih jalan pintas?
Keira tidak bisa langsung mengingat semuanya. Perempuan itu mendapati amplop cokelat yang tergeletak di lantai. Hanya melihat itu saja, dadanya kembali sesak dan napasnya tidak beraturan. Baiklah, Ghidan menceraikannya, tentu saja pria itu akan melakukannya. Hanya saja, Ghidan melakukannya disaat Keira berpikir mereka akan kembali seperti semula. Keira bahkan masih kecewa pada dirinya yang bisa-bisanya menjadi begitu naif dan merasa kalau Ghidan bisa dipercaya.
Kemarin sore, sambil membawa amplop berwarna cokelat berisikan gugatan cerai untuknya, Keira masuk ke kamarnya. Dia mengunci pintu rapat-rapat, memastikan pintunya tidak bisa dibuka oleh orang lain selain dirinya. Dia juga menghidupkan musik kencang-kencang sebelum melangkah ke kamar mandi dan menghidupkan shower dengan derasan air paling lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Blues (COMPLETED)
Romance"Marriage is hard, divorce is hard. Choose your hard." Menikahi perempuan tukang kontrol dan selalu ingin menang sendiri bukanlah perkara mudah. Hebatnya, Ghidan Herangga berhasil menjalani itu selama tujuh tahun berturut-turut. Tanpa persetujuannya...