15. A Life Ruiner

69.3K 8K 1.4K
                                    

Keira berdiri menyender di pintu dengan  kedua tangan ia lipat di depan dada, menonton Bi Oda dan Bi Eni membereskan kamar Ghidan yang kacau-balau akibat ulahnya. Dari raut yang ditampilkan dan bagaimana sesekali ia menggerutu, tampaknya seorang Keira belum mengerti apa itu sesal dan rasa bersalah.

Well, Keira masih belum sadar juga kalau dia telah membuka gerbang neraka.

"Mbak Keira gak mau istirahat?" Bi Eni  bertanya hati-hati. Ayolah, Bi Eni sempat menangis mengetahui betapa gilanya bertengkaran majikannya karena mengkhawatirkan Keira, yang kini ia tahu kalau itu percuma.

"Iya, Mbak. Istirahat aja," sambung Bi Oda. Ia menggerakkan selang vacuum cleaner sambil sesekali melirik Keira.

Belum genap satu jam Ghidan memperingatkan perempuan itu untuk tidak lagi menginjakkan kaki di kamarnya, Keira  sudah melanggarnya layaknya itu bukan apa-apa.

"Aku nggak capek dan belum ngantuk,"  balasnya santai, matanya masih menengok ke arah kamar yang tidak lagi layak huni. Kasur dan beberapa barang lainnya harus disingkirkan dan diganti yang baru.

"Mbak."

"Hmm?"

"Pak Ghidan bisa makin marah kalau tahu Mbak Keira masih di kamarnya."

"Dia gak bakal tau, kan lagi on the way ke Tokyo," ucapnya cuek. "Lagian ini kan kamarku juga."

Bi Oda memilih diam. Memang dia tidak akan menang melawan Keira mengingat statusnya.

Dibandingkan trauma dengan apa yang nyaris  menimpanya, Keira malah tidak habis pikir dengan perlakuan Ghidan. Bukankah pria itu berlebihan? Keira hanya merusak beberapa barang yang  bisa ia ganti, tapi Ghidan membalasnya dengan nyaris melayangkan stik  golf yang bisa membuat kepalanya pecah secara harfiah.

"Bi," panggilnya lagi pada Bi Oda. Perempuan  yang dalam keadaan apapun akan lebih membela Ghidan itu terpaksa melirik ke arahnya. "Seharusnya Bibi kasih tahu Ghidan buat belajar ngontrol emosi. Unstable banget jadi orang. Gak lucu tau kalau tadi kepalaku sampai beneran pecah, emang dia bisa ganti? Nggak, kan?" tanya Keira dengan nada nyinyir. "Jelas-jelas dia yang harus minta maaf."

Mendengar itu, tentu saja Bi Oda jadi makin geram. Dia meremas selang vacuum cleaner erat-erat, berupaya untuk meredakan emosinya yang entah kenapa menumpuk. Mungkin karena terlanjur kasihan pada Ghidan yang harus terus-menerus menghadapi wanita tak tahu diri seperti Keira.

"Mbak Keira duluan yang mulai!" Bi Oda agak  membentak. Bi Eni yang di sebelahnya sampai terkejut mendapati temannya itu begitu berani.

"Nggak, dia duluan yang mulai," balas Keira kalem.

Bi Eni menyenggol Bi Oda yang napasnya masih memburu akibat emosi. Bi Oda menunduk dalam-dalam sebelum mengatakan, "Maaf, Mbak."

Keira menggeleng, memberitahu Bi Oda kalau  tidak ada yang salah dengan perempuan paruh baya itu berikut ucapannya. "Aku juga cuma bercanda," tambahnya lagi.

Perempuan itu menyunggingkan senyum tipis pada keduanya sebelum beranjak dari sana. Sepertinya, tambah lagi orang  yang mengharapkan agar ia segera mengecam karma.

***

Keira lega mendapati kamarnya masih tersusun rapi dan tidak satupun barang yang menghilang setelah Ghidan mengancam akan berbuat hal yang sama. Nyatanya, pria itu segera keluar dari rumah setelah mendapati telepon yang sepertinya penting. Walau buru-buru, Ghidan sempat memberinya beberapa peringatan. Pertama, tidak boleh lagi  berbicara padanya. Kedua, dilarang mengganggunya. Ketiga, jangan pernah  menginjakkan kaki di kamarnya. Ghidan sudah kepalang muak, sampai Keira pun yakin kalau pria itu tidak lagi bercanda dengan ancamannya.

Marriage Blues (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang