Perempuan itu menelusuri koridor rumah sakit dengan langkah berat. Hari sudah menjelang malam, rautnya kelihatan lelah. Sejak tadi pagi, Keira harus meladeni wartawan perihal kliennya yang lagi-lagi mangkir dari panggilan jaksa dengan alasan penyakit jantung. Kini ia harus mengunjungi ruang lainnya di rumah sakit ini meski dengan terpaksa.
"Kei," suara pria yang duduk di sofa kecil depan langsung menyerukan namanya saat melihat Keira. Pemuda jangkung itu berdiri, berjalan menghampiri Keira, lalu memberikan pelukan paling erat, menumpahkan segala kefrustasian yang tadinya dia simpan sendirian.
"Gimana Papi?" tanya Keira datar.
Hansel menggeleng, tidak sanggup menjelaskan secara rinci. "Kata Dokter harus segera dioperasi. Tapi, antrian donornya masih jauh..."
"Oh."
"Mungkin gue yang bakal jadi pendonor," lanjut Hansel lagi, tersenyum hambar sambil melepaskan pelukannya.
Keira menggeleng, "No way! Ini donor hati Hansel!" peringatnya.
Kalaupun Keira dikasih pilihan untuk kehilangan Papinya atau Hansel, tanpa ragu dia akan menjawab Papinya. Hansel punya hidup yang lebih baik, perjalanan juga masih sangat panjang.
"Kita nggak punya banyak pilihan, Kei."
"Mungkin memang sudah waktunya Papi..."
"Keira, please!" Hansel memotong, dia tidak sesantai sebelum-sebelumnya. "Untuk kali ini aja, pikirin Papi juga!"
Keira menghembuskan napas berat. Dia melihat ke arah pintu, "masih boleh masuk?" tanyanya pada adik laki-lakinya yang seharian di sini.
Hansel mengangguk, membuat Keira membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Dia mendapati laki-laki berambut keputihan tertidur di atas ranjang dengan selang oksigen di hidungnya. Kulitnya memucat, bibirnya bahkan keunguan. Untuk sesaat, ada rasa kasihan yang menyelimuti hati Keira hingga matanya menatap perempuan yang duduk di sofa dekat ranjang, alasan perasaan apapun yang ia rasakan sebelumnya menghilang begitu saja.
"Kei," pria tua itu menyebut namanya dengan kesusahan, nada suaranya lemas, dan tatapan dari pupilnya yang lelah begitu nanar.
Keira menghela napas berat, dia berpikir ulang untuk masuk dan kembali membuka pintu untuk keluar.
"Keira!"
Sialnya, perempuan itu memanggil namanya dengan lantang, membuat langkah kakinya tertahan seketika.
Keira mendengkus, dia berjalan ke arah perempuan yang memanggil namanya, berdiri tepat di hadapannya. "You have no right to call my name!"
"Papi kamu sekarat, Keira!" tekan perempuan itu lagi.
"Terus? Kamu senang karena berpikir bakal dapat warisan?!" tanya Keira menantang. Suaranya tidak keras, tapi tatapannya pedas. "Kamu cuma istri siri, nggak bakal dapat apa-apa meski terus mengemis sekalipun."
Perempuan itu nampak tersinggung, tangannya reflek bergerak, nyaris menampar Keira yang bisa-bisanya masih begitu kurang ajar, namun ia lebih cepat mengelak.
"Don't you dare to lay your dirty hands to my face!" balasnya dengan suara berdesis, lalu menjatuhkan tangan perempuan yang hampir menangis itu dengan kasar.
Menyaksikan keributan dalam ruangannya, pria yang terbaring di atas tempat tidur itu tampak terpicu. Tubuhnya kesakitan, kepalanya apalagi. Perempuan tadi langsung menekan tombol pemanggil perawat. Butuh bermenit-menit sampai perawat datang membawa obat-obatan penetralisir yang dibutuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Blues (COMPLETED)
Romance"Marriage is hard, divorce is hard. Choose your hard." Menikahi perempuan tukang kontrol dan selalu ingin menang sendiri bukanlah perkara mudah. Hebatnya, Ghidan Herangga berhasil menjalani itu selama tujuh tahun berturut-turut. Tanpa persetujuannya...