6. The Enemy

86.3K 8.3K 767
                                    

Pukul tiga malam ketika taksi yang Ghidan tumpangi berhenti di depan bangunan dua tingkat yang didominasi warna cokelat gelap dan krem susu. Koper perak yang di atasnya terdapat tas kerjan itu baru saja diturunkan oleh si supir taksi. Setelah jadwal padat dan perjalanan panjang dari Hong Kong, Ghidan merasa lega bisa bertemu rumahnya. Ah, andai saja bangunan di hadapannya ini masih pantas disebut rumah yang didefinisikan sebagai tempatnya pulang, bukan sekadar persinggahan sementara.

Tangannya menyeret koper berikut barang-barang lain yang ia bawa dan berhenti di depan pintu. Pria itu kemudian menyempatkan mengambil telepon genggam di saku celananya.

'Arrived safe, Ryll?' tulisnya memastikan kabar asisten pribadinya yang menaiki taksi berbeda. 

'Yes, Boss. Safe and sound."

'Ok.'

'Jangan lupa meeting besok pagi banget di Mulia. Perlu dibangunin?'

'Gak usah, Ryll. Thanks.'

Setelahnya, Ghidan memasukkan lagi telepon genggamnya, mengambul kartu di dalam dompet, bertepatan dengan suara mesin mobil yang memasuki perkarangan dan berhenti di parkiran depan yang terbuka. Tanpa repot menengok siapa yang datang, Ghidan menempelkan kartu untuk membuka kunci. Suara heels menyentuh marmer terdengar mendekat lalu berhenti tepat di sebelahnya.

Ghidan melirik sekilas ke sosok perempuan yang tidak menyapanya, sementara ia juga tidak mengeluarkan suara. Mereka terbiasa begini, bertukar hening, bertingkah layaknya dua orang asing yang tak perlu saling ganggu. Melupakan fakta jika sebenarnya mereka masih berstatus suami dan istri.

Pintu cokelat itu terbuka, Ghidan mempersilahkan Keira masuk lebih dulu. Ia menutup kembali pintu, lalu berjalan pelan mengikuti Keira.

Sejujurnya, ini merupakan hal yang biasa bagi Ghidan mendapati istrinya pulang larut. Keira bahkan pernah pulang pukul lima subuh, dan harus pergi lagi sebelum jam tujuh pagi. Atau ia tidak pulang sama sekali.

"You should not work this hard. Take a rest, I am gonna give you anything you want."

Ghidan pernah berkata begitu pada Keira. Dulu. Waktu dia masih peduli. Dan dia mengatakan itu tak lebih karena kekhawatirannya terhadap perempuan yang ia nikahi tersebut. Bukankah kalau soal mencari nafkah dalam rumah tangga merupakan kewajibannya sebagai suami? Setidaknya, norma tidak tertulis di negeri ini menyatakan begitu.

Tapi, tahu apa jawaban Keira?

"Kamu nggak berhak melarang-larang apapun yang mau aku kerjakan. Aku tahu kamu mau bikin aku nggak berdaya secara ekonomi terus beketergantungan sama kamu. Itu termasuk KDRT, tahu nggak?"

Sinting, kan?

Ghidan tidak paham kenapa Keira sering bereaksi berlebihan atas apa yang dia katakan atau ia lakukan. Ghidan juga tidak bermaksud melarang Keira bekerja. Perempuan itu bisa melakukan apapun yang dia suka, selama ia menyadari batasannya. Namun, seorang Keira mana pernah mengenal batas. Bahkan Ghidan berani bertaruh kalau Keira berkemungkinan besar melewati operasi transplantasi hati ayah dan adik laki-lakinya demi mengurusi kasus Warisman Sanjaya. Dia terlalu mencintai pekerjaannya.

Perempuan itu sudah berdiri di depan pintu kamarnya, menempelkan ibu jarinya di smartlock. Belum selesai Keira membuka pintu, dia melihat ke arah belakang, menatap ke arah Ghidan tiba-tiba yang mau tidak mau membuatnya menghentikan langkah.

"Why are you staring at me?" tanyanya dengan nada mengintograsi.

Alis Ghidan bertaut. "Pardon?"

"You stared at my ass and my legs, did not you?"

What the hell?

Ghidan masih belum menjawab. It's almost 4 am and I don't have any sleep yet, Keira. Tidak habis pikir bisa-bisanya Keira  mengajaknya berkelahi di waktu selarut ini di mana mereka tahu kalau keduanya sama-sama lelah.

Marriage Blues (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang