"Run, lo tuh ada hubungan apa sih sama Pak Ghidan?"
Kali ini yang bertanya Lana, mahasisiwi semester akhir yang magang berbarengan dengan Aruna. Mereka beda devisi, tetapi status yang sama-sama anak magang membuat mereka akrab dan kerap kali makan siang bersama.
"Gak ada hubungan apa-apa," balasnya seadanya.
"Bohong banget, jelas kalau dia memperlakukan lo berbeda," canda Lana. "Ya, emang bukan di kantor sih, tapi, kalau di luar kantor, semua juga udah tau. Dia sering cabut bareng lo, kan? Lo juga sering chattingan bareng dia."
"Dia cuma bantuin aku bikin skripsi."
"Mana ada nih laki, CEO, yang kerjaannya sibuk bukan main bersedia bantuin anak magang bikin skripsi kalau gak ada hubungan apa-apa." Lana tertawa.
Aruna menghela napas berat, dia sebenarnya juga lelah menjelaskan bagaimana hubungan antara dirinya dan Pak Ghidan. Kedekatan mereka juga sesuatu yang tidak terduga-duga, terlepas dari Aruna yang memang memiliki kekaguman untuknya sejak awal.
"Lo bukan sugar baby, kan?" tebak Lana kemudian. Mendapati ekspresi Aruna yang datar, gadis berblouse putih itu tertawa garing. "Bercanda, Run. Jangan baper ya."
Aruna tahu kalau di belakangnya, banyak yang berprisangka buruk pun menuduhnya yang tidak-tidak. Terutama mereka yang tersenyum dan berkelakuan baik di depan matanya dengan iming-iming cari muka dengan Pak Ghidan. Menurut mereka, Aruna termasuk salah satu jalan dalam melancarkan politik jabatan. Lebih mudah mendekati Pak Ghidan lewat Aruna dibandingkan usaha sendiri.
"Apa sih yang dia kasih untuk Pak Ghidan sampai bisa-bisanya dia naksir sama cewek biasa aja macem dia?"
Aruna sama sekali tidak tahu.
"Dia tidur kali sama Pak Ghidan."
Tidak, tidak pernah sama sekali. Berpegangan tangan saja mereka tak pernah. Pak Ghidan terlalu sopan dan sangat hati-hati tiap kali mereka hanya berdua.
Pria itu jauh dari definisi pria bajingan. Dia menghormati perempuan. Bunda pun juga begitu menyukai Ghidan. Pria itu bahkan membantu mereka saat Bunda di-opname karena Demam Berdarah yang parah. Pak Ghidan sampai ikut menginap di rumah sakit sewaktu Bunda kritis.
Ada kalanya di mana Aruna juga merasa kalau dia memang spesial, dan pria itu sendiri mengakui kalau Aruna spesial.
"Saya udah jarang merasa senang, tapi makan dengan kamu kayak gini saja bisa bikin saya senang."
Begitu katanya.
Pria itu juga mengatakan kalau dia menyukai Aruna, makanya dia senang memberikan Aruna barang-barang mewah pun mengajaknya makan di sky longue gedung megah.
"If you want to see me happy, just accept what I give you,"
Aruna ingin melihatnya senang, makanya dia bersedia menuruti kemauannya. Munafik sekali kalau hubungan mereka hanya sekadar atasan dan bawahan kantor, jelas kalau ada yang lebih dari itu.
Sayangnya, Ghidan selalu memberi batas pada hubungan mereka, membuat Aruna pun turut bertanya-tanya mereka ini apa. Ghidan terang-terangan menunjukan ketidaksukaan apabila Aruna berdekatan dengan laki-laki lain, tapi dia juga tidak memberikan kepastian yang cukup pada hubungan mereka.
Gadis itu melirik totebag yang terdapat tupperware berisikan Brownies yang dia buat sendiri untuk Ghidan. Request-an dari pria itu sendiri. Dan Aruna akan dengan senang hati memasakkan apapun yang Ghidan mau, karena sejauh ini, hanya ini yang bisa dia berikan untuknya.
"Kami berteman," jawabnya untuk pertanyaan Lana yang masing menggantung.
"Gak mau lebih?"
Dengan senyuman, Aruna memberikan gelengan singkat. "Dia itu emang baik ke semua orang," ucapnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Blues (COMPLETED)
Romance"Marriage is hard, divorce is hard. Choose your hard." Menikahi perempuan tukang kontrol dan selalu ingin menang sendiri bukanlah perkara mudah. Hebatnya, Ghidan Herangga berhasil menjalani itu selama tujuh tahun berturut-turut. Tanpa persetujuannya...