Sound : The Man Who Can't Be Moved - The Script.
***
Kemeja putih, vest abu-abu dan celana dasar berwarna senada membuat Ghidan terlalu rapi untuk berada di tempat makan dengan sumber pendingin alami ini. Ah, tempat duduk yang nyaris penuh bahkan membuat hembusan angin tidak lagi terasa. Jadi, ia makan dengan keringat yang keluar dari pori-pori kulitnya.
Setelah bertahun-tahun terakhir hanya makan malam di restoran dalam gedung atau di rumah, makan di tempat ini membuatnya mengenal kembali apa itu rasa rindu.
"Saya pikir, Pak Ghidan gak suka diajak makan di sini." Gadis di hadapannya berkomentar, mata bulatnya baru saja menangkap basah pria itu melahap penuh semangat hidangan nasi bebek di atas meja.
Gadis manis yang mengenakan blouse putih di depannya ini merupakan sosok yang bertanggung jawab membawa seorang Ghidan Herangga ke tempat makan pinggir jalan dengan harga paling mahal 15 ribuan, padahal Ghidan sudah berjanji untuk mengajaknya after office dinner di restoran yang terletak di lantai tertinggi The Westin.
Hanya mereka berdua bersama banyaknya orang asing. Tanpa Sheryl, asisten pribadi Ghidan yang nyaris selalu ada kemanapun Ghidan pergi, ataupun Carissa, sekretaris baru pria itu yang masih muda dan digadang sebagai idola di kantor karena kecantikannya.
"Saya suka makan di tempat kayak gini," balas Ghidan kemudian.
"Masa?" Aruna agak sangsi. "Tadi kan Pak Ghidan menolak keras-keras," lanjutnya agak mengejek.
Aruna sempat berpikir kalau Ghidan tipikal bos-bos kaya yang sangat pemilih dan anti makan di pinggiran, karena bagaimana beberapa karyawan menghakimi sifat Ghidan yang agak dingin dan kerap kali menjaga jarak denga kebanyakkan orang, kecuali atasan-atasan atau orang selevel dengannya. Padahal, Aruna jelas-jelas pernah lihat Ghidan makan di kantin paling biasa di kampusnya sendirian.
Pria ini tidak seperti yang orang-orang deskripsikan tentangnya.
"Saya sudah janji yang lain."
"Tapi, makanan di sini lebih enak kan, Pak?
"Lumayan."
Aruna tertawa, jawaban gengsi Ghidan barusan agak menggelitik perutnya. Dia kemudian menyuap lagi sesuap nasi ke dalam mulut, dalam kepalanya terus berpikir hal lain yang membuatnya terus senyum-senyum sendiri.
"Mbak Carissa-nya jangan diomelin lagi, Pak," pinta Aruna kemudian.
Ghidan menyengir singkat. Well, penyebab utama mereka tidak jadi makan di Henshin karena Carissa yang salah reservasi. Perempuan itu malah mereservasi buat besok, bukan malam ini, padahal Ghidan sudah meminta dari minggu lalu.
"Iya. Iya."
Aruna tersenyum. Sejak awal, Aruna paham kalau Ghidan bukanlah seseorang yang seharusnya dia sukai. Baiklah, kalau hanya sekadar kagum, pria itu memang membuat kagum banyak orang.
Mereka berada di level yang jauh berbeda. Dibandingkan Ghidan yang punya segalanya, Aruna bukanlah siapa-siapa. Dia hanya gadis naif yang terbuai dengan tingkah laku bosnya tersebut. Maka, dia berupaya untuk mengontrol perasaannya. Namun, siapa yang bisa disalahkan kalau dia merasakan kupu-kupu berterbangan dalam perutnya tiap kali melihat atau mengingat wajah atau perbuatan Ghidan padanya?
"I used to eat at this kind of place a lot."
"Hmm?"
"Terutama waktu jaman kuliah, walau lebih sering di burjo sih karena saya kuliah di Jogja."
"Oh ya?" Mata Aruna membulat.
Ghidan mengangguk, dia tanpa sadar tersenyum mendapati ekspresi Aruna. Gadis ini terlihat senang sekali sejak awal, terutama karena fakta akhirnya seorang Ghidan Herangga yang lebih suka memutuskan dan kemauannya dituruti kini mengikuti kemauannya meski awalnya terpaksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marriage Blues (COMPLETED)
Romance"Marriage is hard, divorce is hard. Choose your hard." Menikahi perempuan tukang kontrol dan selalu ingin menang sendiri bukanlah perkara mudah. Hebatnya, Ghidan Herangga berhasil menjalani itu selama tujuh tahun berturut-turut. Tanpa persetujuannya...