18. When Loneliness Kills

73.5K 7.9K 1.4K
                                    

Typo(s)

***

Ada hal yang dulunya pernah sangat Ghidan takutkan; hidup sendirian. Setelah Eyang meninggal ketika dia masih kuliah, Ghidan tidak punya pilihan lain selain hidup sendirian. Walau masih punya kerabat dekat, dia dianggap cukup umur untuk bisa mengurus dirinya tanpa bantuan siapa-siapa.

Ghidan mungkin tidak terang-terangan menunjukkannya pada dunia, namun hidup sendirian itu mengerikan dan rasa sepinya sangat menyakitkan. Maka, pria itu tumbuh dengan satu harapan yang baginya besar; memiliki keluarga. Sebuah harapan yang sampai sekarang pun belum bisa diraihnya meski ia nyaris punya segalanya.

Tidak apa-apa, toh hidup sendirian tidak lagi menakutkan baginya, malah dia sudah terbiasa dan mulai menyukainya. Semakin dewasa, dia meyakini jika dia tidak perlu takut terhadap apa-apa. Banyak hal yang lebih mencuri fokusnya dibanding rasa takut. Semuanya terkendali dan Ghidan melupakannya. Sampai hari ini ...

Saat suhu tubuhnya mencapai angka 39,5 derajat celcius, kepalanya sakit bukan main, perutnya mual, tubuhnya menggigil dan terasa lemas, Ghidan kembali terngiang dengan apa yang paling ia takutkan dalam hidupnya; hidup sendirian sampai mati. Dalam sekejap, ia harus menerima rentetan serangan derita karena rasa takutnya. Kemudian, dia teringat kembali alasan kenapa hidup sendirian menjadi begitu menakutkan; sesederhana kesulitan mengambil air minum yang terletak di ujung meja sana ketika merasa dehidrasi.

Ayolah, andai dia bisa menunjukkan betapa dia membenci keadaannya saat ini. Dia nyaris tidak pernah sakit dan tidak sempat memikirkan penderitaannya. Brengseknya, dia harus menghadapi dua hal payah tersebut di saat bersamaan, seketika dia membiarkan rasa sepi itu menghancurkannya hingga ia berharap bisa segera terlelap.

Sayang sekali, bertahun-tahun berteman dengan insomnia membuat tidur bukanlah sesuatu yang sederhana. Seingin apapun Ghidan menjeda hal-hal menyakitkan yang lewat di kepalanya, otaknya tetap bekerja memproduksi lebih banyak hal yang membuatnya lelah. Terkadang, ada keinginan untuk mati saja mengingat hidup bukan lagi hal yang mudah. Namun, di saat yang sama, keinginannya untuk bertahan lebih besar dari penderitaanya.

Matanya nyaris terlelap. Sedikit lagi. Lalu, suara bel yang berbunyi nyaring sampai ke kamarnya ini membuat kesadarannya sepenuhnya kembali.

Pukul sebelas malam, siapa yang bertamu semalam ini? Mungkin itu Sheryl. Namun, intensitas tekanan bel yang tidak sabaran sama tidak menunjukkan tingkah laku Sheryl. Lagipula, Sheryl mengetahui pin pada smartlock untuk membuka pintu.

Ghidan masih tidak berminat untuk bangkit dari tempat tidurnya. Tangannya meraba-raba handphone yang terletak di dekat lampu tidur. Ketemu. Dan banyak sekali pesan masuk di sana.

Dikarenakan suara bel yang belum juga berhenti, pria yang mengenakan kaos putih itu terpaksa bangkit dari tempat tidurnya. Tubuhnya sempoyongan, bersusah payah menjaga keseimbangan untuk berjalan ke depan pintu. Pria itu berhenti di depan LCD Interkom, mencari tahu siapa yang dengan tidak sopannya bertamu di jam segini.

"Oh, fuck..." seketika dia mengutuk mendapati siapa yang ada di sana. Itu Keira. Ghidan sampai mengerjapkan mata berkali-kali berharap apa yang dilihatnya bisa berubah. Atau bisa saja dia masih terlentang di atas tempat tidur dan ini hanya mimpi, kan?

Semuanya tidak selesai sampai disitu, selang beberapa saat kemudian, beberapa notifikasi muncul di layar handphone-nya.

Keira Jenita Soerjono: Aku tahu kamu di dalem.

Luar biasa sekali! Keira mengirim pesan itu lewat E-Mail pribadi Ghidan yang mana hanya diketahui orang-orang tertentu. Sekaligus menyadarkan Ghidan yang tidak lagi mengantuk kalau ini bukan mimpi.

Marriage Blues (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang