37. Run Devil Run

63.1K 9K 2.4K
                                    


Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia bisnis, Ghidan seharusnya sudah paham betul dengan teori Rational Choice di mana sebuah pilihan yang dipilih harusnya memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan biaya. Masalahnya, pilihan Ghidan akhir-akhir ini tampaknya tidak rasional, apalagi dia yang mengatakan setuju tanpa berpikir lebih lanjut mengenai konsekuensi dari keinginan Keira yang sama sekali tidak menguntungkannya.

Keinginan Keira juga aneh-aneh. Sama sekali tidak sulit, tapi aneh. Karena keanehan ini pula lah rasanya jadi sulit bagi Ghidan.

Kalau sebelumnya dia meminta persoalan bercinta--yang menurut Ghidan-- jangankan tujuh kali, seratus kalipun dia mau-mau saja diajak melakukannya. Tidak peduli siapa yang di atas, toh tetap saja ujung-ujungnya soal kenikmatan surgawi yang bisa dirasakan di dunia. Hanya saja terasa ada yang kurang apabila Ghidan langsung megiyakan Keira, mengingat beberapa bulan terakhir mereka terbiasa mendapatkan konklusi setelah melakukan perdebatan.

Lagipula, Ghidan tentu tidak mau kembali melihat Keira yang bisa bebas bertingkah seenaknya kepadanya.

Keinginan kedua Keira terlalu gampang, dia meminta Ghidan membuka blokiran pada nomornya, yang Ghidan saja tidak ingat kalau dia memblokir (lagi) nomor perempuan itu. Keinginan ketiganya juga tidak kalah gampang, dia menyuruh Ghidan mengangkat teleponnya kalau dia menelpon. Masalahnya, dari tadi pagi sampai Ghidan sudah pulang ke rumah pun, Keira belum menelponnya sama sekali.

Ghidan yang awalnya menyesal mengenai penawarannya yang bodoh itupun secara cepat merelakannya. Bagaimana tidak? Dia sempat skeptis Keira memintanya mempora-porandakan dunia atau mengambilkan bintang di langit, mengingat segala hal mengenai perempuan itu tidak pernah masuk akal. Rupanya, Keira hanya menginginkan sesuatu yang terlampau sederhana, dan biasanya bisa dia lakukan sendiri.

Tumben-tumbenan perempuan itu bisa manusiawi.

Suara ketukan yang beradu dengan kayu jati membuat Ghidan yang baru selesai mandi berjalan ke depan pintu. Sebagaimana dugaannya, memang Keira yang mengetuk dan berdiri angkuh di depan kamarnya.

"Aku mau beli nasi goreng."

"This is your fourth desire?" tanya Ghidan menekankan kata terakhir.

"Yes."

"Yang di depan kan? Mau nasi goreng apa?" tanya Ghidan lagi.

"Aku minta ditemanin, bukan dibeliin."

Satu alis Ghidan terangkat, padahal kan, jauh lebih mudah kalau Ghidan yang disuruh-suruh?

"Yaudah."

Ghidan ke dalam sebentar untuk mengambil dompet dan handphonenya, lalu mengikuti Keira yang mengenakan kaos ketat dan celana pendek turun ke lantai bawah, menuju pintu ke luar.

"Gak mau pake cardigan?"

"Gak dingin juga."

"Oke."

Mereka berdua jalan kaki.

Jarak ke depan komplek tempat nasi goreng yang dimaksud Keira memang tidak jauh, akan tetapi Ghidan baru menyadari beberapa hal yang sebelumnya kurang dia perhatikan. Cat rumah tetangga di sebelahnya sudah ganti menjadi abu-abu terang. Ada plosotan, ayunan dan beberapa mainan anak lainnya di lahan yang dulu kosong di dekat pos satpam. Satpam yang berjaga malam ini bukan lagi Pak Agung, lelaki berumur lima puluhan yang dulu pernah mengajak Ghidan ngopi dini hari dan bercerita sampai pagi, melainkan dua pria muda yang mungkin berumur 20an awal

Marriage Blues (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang