Pukul sembilan malam ketika Caspian sampai di flat Tania. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang memang disimpan olehnya. Pintu terbuka dan tampak seisi flat yang gelap, tak ada siapa pun. Caspian sengaja menunggu hingga malam untuk memastikan bahwa Tania telah kembali ke Paris bersama Daniel.
Dinyalakannya lampu. Untuk beberapa saat, ia memandang sekeliling ruangan. Terbersit sesal di hatinya karena telah mengusir Tania dari rumahnya kemarin. Ingin sekali ia menelepon dan meminta maaf. Memang, itu akan membuatnya terkesan tidak konsisten-atau bahkan mungkin memang ia tidak bisa konsisten sama sekali-sebab hati selalu sulit ditebak. Dan saat ini, perasaan sungguh mengambil kontrol penuh atas dirinya, dibandingkan logika.
Caspian menghela napas panjang, pasrah. Ia lalu berjalan masuk ke kamar yang pernah ditempatinya. Kameranya ada di atas meja di dekat ranjang.
"Eh?!" Caspian terkejut saat memeriksa kameranya dan mendapati satu pemberitahuan yang aneh mengenai kartu memori. Ia segera memeriksa slot memori kamera itu dan benar saja, kosong. "Kemana perginya?!"
Kemudian Caspian mulai menerka, mungkinkah Tania yang menyimpannya? Untuk apa? Ia tak mau berharap apa lagi pada hal-hal yang mustahil. Ia bisa saja menelepon Tania sekarang untuk menanyakan itu, tetapi jika ada Daniel di sisinya, semuanya bisa kacau. Caspian sadar ia bisa merusak hubungan mereka kapan saja, tetapi ia tak ingin melakukannya.
Ia tak bisa mencuri Tania dari orang lain hanya agar perempuan itu bisa menjadi miliknya. Namun, hatinya juga tak sanggup menerima kenyataan itu.
Pada akhirnya Caspian pergi dari sana dan kembali ke rumahnya, dengan membawa kamera kosong di tangannya.
***
"Aku ingin membicarakan hal yang penting ...." Daniel mendekati Tania yang sedang memainkan permainan puzzle di ponselnya dengan berbaring di sofa. Mereka sudah tiba di Paris sejak siang tadi dan langsung berhadapan dengan kesibukan seperti biasa. Keduanya baru bisa beristirahat setelah hampir melewati jam makan malam.
"Apa ini soal desain undangan pernikahan? Karena aku ingat kau sempat membahasnya sebelum kita berangkat ke London saat itu." Tania meletakkan ponselnya lalu duduk, memberikan ruang untuk Daniel duduk di sebelahnya.
"Well ... ini sesuatu yang berhubungan dengan rencana kita ke depannya juga, tapi aku tidak tahu apa aku bisa mengatakannya." Daniel mengangkat bahu.
"Tunggu, apa ini??" Tania memandangnya bingung. Kalimat Daniel tidak terdengar seperti mengarah ke sesuatu yang baik.
"Aku ingin menanyakan sesuatu."
"Apa?"
Daniel menatap Tania begitu serius sebelum melanjutkan kalimatnya, "apa kau benar-benar mencintaiku?"
Tania mengangkat kepalanya sebelum akhirnya tertawa. "Pertanyaan macam apa itu, Dan?"
"Ayolah, jawab saja."
"Tentu aku mencintaimu!" Tania menepuk lutut kekasihnya dengan gemas.
"Sungguh?" Daniel menyentuh wajah Tania, bibirnya sedikit gemetar kala ia mulai bicara. "Kau tahu, aku ingin kau bahagia. Aku ingin hubungan kita berjalan tanpa kebohongan. Aku ingin jika kita menikah, tak ada hal lain yang mengganggu di hatimu."
Tania tak bereaksi, tetapi ia menyadari ada sesuatu di sepasang mata Daniel, sesuatu yang pada akhirnya membuat Tania sadar ... Daniel tampaknya tahu sesuatu.
"Aku mohon, jawab pertanyaanku kali ini, dengan jujur." Kini kedua tangan Daniel menangkup wajah kekasihnya. "Adakah orang lain??"
Dengan pertanyaan itu, air mata Tania jatuh. Tidak, ia tidak sanggup menjawab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...