Chapter 52: Target

304 37 0
                                    

Selama beberapa hari, semuanya berjalan normal hingga tiba hari itu, hari yang menjadi persidangan pertama Rowan atas penyerangan yang dilakukannya terhadap Ellaine tempo hari.

Sidang dihadiri cukup banyak orang yang sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang hadir di acara makan malam itu. Beberapa ada yang menjadi saksi, beberapa yang lain hanya datang karena ingin melihat 'drama' Rowan sebab mereka juga telah mendengar tentang kasus penipuan yang dilakukan Rowan atas nama Alfred Harvey.

Tania memasuki ruang sidang dengan kaki gemetar. Ia duduk di dekat Zekey dan Jonas, di bangku paling depan. Saat ia mengangkat wajahnya untuk melihat sekeliling, pandangannya bertemu dengan pandangan ayahnya yang duduk di kursi tersangka.

Pada detik itu, Tania merasakan detak jantungnya seolah berhenti dan lututnya melemah. Jika ia tak sedang duduk, mungkin ia akan jatuh. Sebab bagi Tania, betapa amat menakutkan sepasang mata itu.

Mata yang sudah belasan tahun tak ia lihat, tetapi ia tak bisa lupa bagaimana saat ia masih kecil dulu, sepasang mata itu selalu menatap penuh amarah dan rasa benci pada siapa pun yang ada di rumah—Tania, Jonas, Zekey, dan tentu saja, Ellaine—sebelum akhirnya sang empu berteriak, memaki, bahkan memukul siapa saja yang ada di hadapannya.

Hanya sepersekian detik Tania beradu pandang dengan Rowan, tetapi itu cukup untuk melemparkannya kembali pada semua trauma masa kecil yang pernah ia alami.

Sementara itu, Rowan mengepalkan kedua tangannya dengan erat. Jika ada yang bisa membaca pikiran Rowan hanya melalui matanya saja, maka mereka akan tahu bahwa kini pria itu merasakan kebencian serta kemarahan yang amat dalam ketika melihat ketiga anaknya.

Jonas, Zekey, dan Tania. Mereka datang dengan pakaian yang amat rapi, sebagai keluarga yang utuh dengan Rob sebagai ayah mereka. Rowan tak tahu apa yang terjadi, ia pun tak mau tahu. Namun ingin sekali rasanya ia berteriak mengutuk orang-orang itu.

Belasan tahun tak pernah melihat anak-anaknya sama sekali tak membuat Rowan rindu. Tidak, tidak sekali pun ia pernah merasakan itu. Kini saat ia akhirnya melihat mereka, bukan cinta yang ia rasakan, melainkan dendam.

Sidang itu cukup panjang dengan banyak perdebatan antara kedua belah pihak, tetapi Rowan tak bisa mengelak karena ada bukti yang kuat—mulai dari gaun Ellaine yang sobek hingga rekaman CCTV saat Rowan mengarahkan pistolnya pada Ellaine dan menyeret wanita itu menuruni tangga—ditambah lagi saksi yang cukup banyak saat kejadian itu.

Pada akhirnya, Rowan ditetapkan sebagai terdakwa. Sidang berikutnya akan diadakan dalam kurang lebih dua minggu lagi.

Tania terus termenung sepanjang perjalanan pulang ke rumah Rob. Jonas mengemudikan mobil, Rob dan Ellaine di tengah dan Tania bersama Zekey di belakang. Dua kakaknya itu memang sudah pindah ke rumah Rob sejak dua hari lalu, tetapi Tania tetap memutuskan untuk tinggal di flatnya sendirian.

"Kau baik-baik saja?" tanya Zekey. Sejak tadi ia sudah memperhatikan adiknya yang tampak begitu gelisah dan tak nyaman, itu membuatnya cemas.

Tania menggeleng. Ia benar-benar tak tahu bagaimana menjelaskan perasaannya setelah melihat Rowan.

"Aku ... takut saat melihatnya," bisik Tania, tak ingin orang lain yang berada di mobil itu mendengar apa yang hendak ia bicarakan dengan Zekey di jok paling belakang.

Zekey segera menggenggam tangan Tania dan memeluknya. Ia tak perlu mendengar lebih banyak, ia sudah paham apa yang Tania maksud. Pelukan itu membuat Tania spontan menangis, tetapi ia berusaha membisukan tangisnya seperti biasa.

"Aku takut," bisik Tania lagi.

"Aku mengerti," balas Zekey sembari mengusap ujung pundak Tania. Ia pun sebenarnya merasakan ketakutan yang sama setelah melihat Rowan. Mereka semua mendapat perlakuan yang mengerikan dari pria yang seharusnya menjadi pelindung mereka itu.

Entah mengapa, rasa takut yang kini mengusik Zekey berbeda. Seperti ... bukan hanya rasa takut, tetapi juga firasat buruk akan terjadinya sesuatu.

***

Sudah lewat jam makan siang ketika seseorang datang untuk menemui Rowan di rumah tahanan hari itu.

"Aku membeli sedikit camilan saat di ruang tunggu tadi." Pria itu meletakkan dua batang cokelat serta satu bungkus keripik kentang di atas meja kecil yang membatasi dirinya dengan sang tahanan. "Untukmu."

"Terima kasih, Leo." Rowan memandangi makanan ringan di hadapannya dengan ekspresi datar. Ia kemudian memandang Leo lagi sebelum akhirnya mengecilkan volume suaranya. "Kenapa kau masih di sini? Sana, melarikan diri."

Leo terkekeh.

"Nanti aku juga akan tertangkap. Melelahkan juga, ya, menjalani hidup seperti ini?" Leo mengetukkan jemarinya di atas meja. "Kenapa kau selalu membiarkanku tetap aman? Sementara kau tertangkap begitu saja, itu tindakan bodoh."

"Anggap saja sebagai balasan dariku karena kau pernah menjadi tameng saat aku hampir ditembak mati oleh polisi dalam perampokan itu."

"Ayolah, itu sudah lima belas tahun yang lalu." Leo menggeleng, masih tertawa. "Jika dipikir-pikir, kemampuan melarikan diri yang kumiliki hebat juga, ya? Padahal aku sendiri hampir mati saat itu."

"Jadi, bagaimana? Kita impas sekarang, kan?" Rowan mengerutkan dahi, tetapi ekspresinya masih datar.

"I guess so." Leo mengedikkan bahu. "Kau tahu apa yang kupikirkan? Waktuku juga tidak akan lama."

"Apa yang kau bicarakan?"

"Tidak lama lagi mereka pasti menemukanku juga, mungkin aku akan dihukum mati atas semua kejahatan itu." Leo tersenyum pahit. "Oh, dan sakitku juga semakin parah, sih."

"Ingin sedikit petualangan lagi sebelum kau mati?" balas Rowan.

"Jika ada, aku akan ambil."

"Habisi keluarga Robert Williams, bagaimana pun caranya." Rowan memandang Leo lurus. "Pria itu, istrinya, anak-anaknya terutama dua pemuda dan satu gadis yang tadi hadir di persidanganku, habisi mereka semua."

"Wow, itu terdengar seperti sebuah misi serius dari pada sedikit petualangan." Leo mengangkat sebelah alisnya. "Aku ambil."

Setelah menyelesaikan kunjungan singkat itu, Leo pergi dari sana dan tak menunggu lebih lama lagi untuk menjalankan 'petualangan' yang ditawarkan oleh Rowan. Leo sudah tahu siapa Robert Williams, tetapi istri dan anak-anaknya? Ia tak pernah tahu mereka.

Meski begitu, hanya butuh waktu sebentar saja bagi Leo untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan mengenai orang-orang itu. Setelah mendapat cukup informasi yang dibutuhkan, Leo langsung melakukan investigasi terhadap mereka.

Hanya tiga hari. Tiga hari mengikuti orang-orang itu dan ia sudah mencatat banyak hal penting.

"Rob dan istrinya tinggal di Paris, tetapi selama beberapa waktu ke depan mereka tetap di London dan tinggal di mansion mereka bersama dengan dua lelaki muda yang tak lain adalah putra mereka." Leo memandangi layar laptopnya yang menampilkan susunan rencananya. "Terlalu berisiko jika aku bergerak ke rumah itu."

Leo mendapat ide. Ia juga telah mengikuti Tania dan tahu bahwa gadis itu tinggal sendiri di flat yang ada di sebuah kawasan elit. Leo juga sudah paham jadwal Tania—pergi ke kantor di pagi hari dan pulang saat sore, setelahnya ia lebih sering berada di flat.

"Dia akan jadi target pertama yang mudah untuk dihabisi lebih dulu." Leo mengangkat sudut-sudut bibirnya. Ia lalu menutup laptop dan pergi tidur.

***

Daniel termenung di kamarnya, sulit tidur, lagi. Baru saja ia menghubungi Sofia, bertanya pada sang sekretaris mengenai Tania. Daniel lega saat mengetahui bahwa Tania masih bekerja di kantor itu.

Tak lupa Daniel juga meminta pada Sofia agar selalu memberikan kopi di meja kerja Tania setiap pagi—Daniel mengirimkan uangnya, tentu saja.

Meski penasaran akan hubungan apa yang ada antara bos dan karyawan itu, Sofia tak mau bertanya lebih banyak. Ia hanya menurut. Toh, hanya membelikan kopi yang uangnya juga dari Daniel. Tidak merepotkan.

Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang