Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Daniel dan Tania. Hari itu, Tania bersama Daniel pergi ke penjara untuk menemui Rowan.
"Kau yakin ingin melakukan ini?" Daniel memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. "Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran."
"Tidak." Tania menggeleng lugas. "Aku akan menemuinya."
Daniel tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.
Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.
Tania duduk lebih dulu, sementara Daniel berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.
Dengan tangan gemetar, Tania meraih gagang telepon. Kemudian disusul oleh Rowan yang juga melakukan hal yang sama, wajahnya tanpa ekspresi.
"Hei, Yah," sapa Tania dengan suara yang amat lirih, setengah tak yakin dengan panggilan yang ia berikan untuk Rowan. "Aku akan menikah dalam beberapa hari."
Rowan tak menjawab.
"Ibu melarangku untuk datang ke sini, tapi aku tetap pergi karena kau adalah ayahku." Tania menggenggam gagang telepon dengan kuat. "Setidaknya kau tahu bahwa putrimu akan menikah walau kau tak akan bisa datang."
"Jangan sok bijak." Rowan akhirnya bersuara. Ekspresinya masih datar, tetapi ia tetap terlihat menyeramkan dan galak dengan berewok yang amat tebal serta rambut yang mulai panjang. "Aku memang ayahmu, tapi aku sudah mencoba membunuhmu."
Tania tetap berusaha tak menjatuhkan gagang telepon meski kalimat Rowan amat membuatnya lemah karena ingat pada kejadian itu.
"Tidak akan ada yang menyalahkanmu jika kau tak mau menganggapku sebagai ayahmu lagi."
Mata Tania menghangat, hanya beberapa detik saja pandangannya memburam oleh air mata.
Ia tak menyangka Rowan akan mengatakan itu.
"Biarkan aku bicara pada calon suamimu."
Tania menoleh dan melihat Daniel. Pemuda itu mengangkat alisnya saat Tania menyerahkan gagang telepon padanya.
Daniel menerima benda itu lalu duduk di kursi, bersiap bicara pada pria yang tak lain adalah calon ayah mertuanya.
"Apa yang terjadi hingga kau mau menikah dengan putriku?" tanya Rowan tanpa basa-basi. "Apa tak ada gadis lain yang lebih baik yang bisa kau temukan?"
"Aku mencintai Tania," jawab Daniel singkat.
Rowan terkekeh. "Kau yakin tak ingin berubah pikiran? Bahkan setelah melihat ayah kandungnya yang adalah seorang narapidana?"
"Aku sudah tahu apa yang terjadi pada Tania dan keluarganya, padamu, dan aku tak akan pernah menyalahkan Tania atas apa yang terjadi di keluarganya. Apa lagi fakta bahwa kau seorang kriminal." Daniel memandangnya serius. Ia sama sekali tidak takut pada pria itu. "Kejahatanmu bukanlah tanggung jawab Tania."
Rowan terdiam.
"Aku akan memastikan Tania bahagia," lanjut Daniel. "Sedangkan kau, ayahnya sendiri, yang seharusnya jadi cinta pertamanya, telah gagal melakukan itu."
Sepasang mata Rowan tampak memerah. Barangkali kalimat Daniel sedikit banyak telah menggoreskan sesuatu di jiwanya yang gelap dan dingin.
Daniel mengembalikan gagang telepon pada Tania.
"Aku tidak mencintaimu dan aku ingin kau tahu itu." Terlihat noda air mata di pipi Tania tetapi ia tetap tegar. Rowan terlihat mengepalkan erat satu tangannya di atas meja.
"Aku tidak pernah mencintaimu, Ayah," ulang Tania. "Dan selamanya akan tetap begitu."
Tania meletakkan gagang telepon, menolak untuk memandang Rowan sekali lagi. Ia hanya langsung meraih tangan Daniel dan berjalan pergi dari sana.
Air matanya jatuh kembali.
Ketika kembali ke rumah Rob, mereka mendapati Gary dan Catherine juga ada di sana, mengobrol dengan Ellaine di ruang tamu.
"Apa semuanya berjalan baik, sayang?" tanya Ellaine dengan wajah cemas. Tania hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
"Kemarilah, hadiah kalian sudah tiba." Catherine tersenyum lebar lalu mendekati Tania dan Daniel agar ikut duduk di sofa.
"Hadiah?" Daniel mengerutkan dahi.
Catherine meraih sebuah kotak kecil dari atas meja. "Untuk kalian berdua, dari Ibu dan Ayah."
Daniel membuka kotak itu yang dari luar jelas amat familiar baginya. Rolex. Di dalamnya terdapat sepasang arloji berwarna perak.
"Ini sangat indah." Daniel terpana selama beberapa saat lalu memandang kedua orang tuanya. "Thanks, Mum, Dad."
"Kau belum punya yang itu, kan?" Gary memastikan. Daniel tertawa. Sejujurnya ia tak terlalu suka mengoleksi barang mewah.
"Wah, semuanya sudah di sini, ya?" Rob muncul dengan sebuah kotak hadiah di tangannya. "Daniel, Tania, ini hadiah dari Ellaine dan aku untuk kalian berdua, maaf agak lama."
"Oh, ayolah, Rob. Kau bisa memberikannya setelah pernikahan." Daniel tertawa kecil.
"Nah, itu bukan budaya kita." Rob menggeleng tak setuju.
Tania memandang kotak itu dengan penasaran. "Apa itu?"
"Kau penasaran? Buka saja, tapi jangan dihabiskan sekarang." Rob mengedipkan sebelah matanya, membuat Tania bingung. Ia lalu meraih kotak itu dan membukanya.
"Memangnya apa yang-" Kalimat Tania terhenti saat ia mendapati sebotol wine di dalamnya. "Well?"
"Itu adalah Screaming Eagle Cabernet Sauvignon. Wine termahal dari Amerika," jelas Rob. Ia kemudian menyadari bahwa orang-orang yang tengah duduk di ruang tamu kini memandangnya dengan ekspresi datar.
"Jangan salah paham, semuanya. Aku tidak bermaksud pamer." Rob mengangkat kedua telapak tangannya. "Aku hanya tak ingin Tania dan Daniel mengira bahwa aku hanya memberikan sebotol wine dengan harga yang tak seberapa sebagai hadiah pernikahan-"
"This is lovely, Rob. Thank you." Tania menyeka air matanya. Ia merasa terharu bukan karena hadiah mahal itu, melainkan karena ia kembali ingat pada Rowan.
"Aw, ayolah, tidak perlu sampai menangis." Rob mendekat dan memeluknya.
Malam itu saat Tania tengah duduk sendiri memandangi halaman belakang, Zekey menghampirinya.
"Untung saja tepat waktu," ucap pemuda itu sembari meletakkan sebuah buku di atas meja.
Tania memandang buku itu, tak perlu menunggu lama baginya untuk memutuskan apakah ia harus membukanya atau tidak. Sebuah buku dengan ukuran yang mirip novel, dengan hardcover berwarna hitam dan ukiran perak di sudut-sudutnya.
Bukan hanya tentang dansa indah tanpa cela dalam gaun putih
Bukan hanya tentang perdebatan tanpa henti kala langit menangis
Bukan hanya tentang suka cita, atau duka, atau juga sulangan sampanye
Cinta bukan tentang hari-hari terbaik atau terburuk
Cinta adalah hari-hari Selasa
Selama beberapa saat Tania membaca tulisan yang ada di halaman pertama buku itu. Ia lalu memandang kakaknya lagi.
"Zekey, ini-"
"Puisi-puisi romansa yang kutulis bersama Caspian, untuk kalian berdua." Zekey tersenyum. "Sempatkanlah waktu kalian untuk mengapresiasi satu puisi setiap hari dan ingatlah betapa kalian mencintai satu sama lain."
Tania menutup kembali buku itu. Ia tak bisa berkata-kata hingga langsung memeluk Zekey dan tak lama kemudian, ia terisak.
"Jangan lupakan," bisik Zekey sambil menepuk lembut punggung adiknya. "Cinta adalah hari-hari Selasa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...