EPILOGUE

1.8K 55 4
                                    

Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.

"Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!" Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.

"Kau yang berisik, Theoline!" balas Delphine.

"Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Delphine." Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.

"Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!" Delphine cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.

"Kakek akan sangat bangga padamu," balasku meyakinkannya. "Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama."

"That would be lovely." Delphine tersenyum, memutuskan untuk kembali memainkan lagu Twinkle Twinkle Little Star.

"I love you so much," ucapku gemas sembari mengecup puncak kepalanya.

Sesaat kemudian terdengar suara kaca yang pecah di ruang tengah. Aku segera berlari ke sana, mendapati Theoline terpaku memandangi satu mug yang jatuh di lantai. Benda itu pecah berkeping-keping, menumpahkan cokelat di atas lantai yang putih berkilap.

"Theoline, menjauh!" ujarku sambil terburu-buru mendekati, mencegah agar tangan mungilnya tak menyentuh pecahan mug yang bisa membuatnya terluka.

Aku menoleh, sepasang mata hijaunya berkaca-kaca.

"Maafkan aku ...." Suaranya bergetar.

"Tidak apa-apa, sayang." Aku memeluknya.

"Padahal Ayah dan ibu sering memberitahuku agar tidak minum cokelat panas dengan mug milik kalian," isaknya.

"Kalau begitu, setelah ini jangan lagi, ok?" Aku menenangkannya. "I love you."

Ia mengangguk lemah lalu kembali duduk di sofa.

Kekacauan semacam itu sering terjadi. Terkadang berujung omelan panjang lebar, yang pada akhirnya disesali juga. Namun kami selalu mencoba untuk tetap belajar, berpegangan erat, memastikan semua orang tidur nyenyak tanpa harus cemas memikirkan kekacauan yang telah terjadi hari itu.

"Senin yang panjang." Aku membalik lembar halaman majalah edisi minggu lalu yang belum sempat kubaca.

"Dan membosankan. Senin yang panjang dan membosankan," sahutnya sembari menyesap teh Yorkshire.

Aku tersenyum tipis. Sudah beberapa hari kami tidak duduk bersama menikmati teh sore seperti sekarang ini.

"Kau tahu apa yang Theoline katakan padaku pagi tadi?" tanyanya.

"Apa?"

"Dia bilang dia ingin cepat-cepat bersekolah lalu kuliah." Ia menggeleng.

"Waktu berlalu begitu cepat." Aku terkekeh dan kembali memandang lembar majalah yang menampilkan foto Brad Pitt dalam kemeja keren.

"Saat kutanya alasannya, dia bilang bahwa dia ingin menjadi seperti kakeknya." Ia membulatkan mata.

"Itu yang terjadi saat kita membiarkannya berbincang terlalu lama dengan Rob." Aku memandangnya kembali. "Bisa jadi dia sudah memutuskan untuk masuk kuliah bisnis."

"Aku belum siap untuk itu." Ia kini memandang Delphine dan Theoline yang berlari ke halaman belakang, berkejaran dengan Mocca, seekor anjing Golden Retriever yang kami adopsi sebelum dua gadis kecil itu lahir.

Aku menutup majalah lalu meraih tangannya. Pandangan kami sama-sama menerawang ke kejauhan. Mungkin besok akan jadi hari Selasa yang sibuk dan panjang seperti yang sudah-sudah, tetapi apa pun yang akan terjadi, entah lagi-lagi kekacauan atau kejutan manis, tidak ada alasan untuk tak mengucapkan kata cinta.

"Aku mencintaimu," ucapku. Ia memandangku kembali.

"Aku mencintaimu."

Seperti yang dituliskan oleh kakak iparku dalam buku puisi yang ia hadiahkan untuk kami. Cinta bukanlah tentang hari-hari terbaik atau hari-hari terburuk.

Cinta adalah hari-hari Selasa.

—The End—

Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang