Chapter 17: A Fist of Pure Emotion, A Head of Shattered Dreams

1.3K 95 4
                                    

Bel istirahat telah berbunyi dan semua anak-anak keluar dari ruang kelas mereka, berlarian menuju taman, kantin atau toilet. Namun berbeda dengan Gary yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tadi malam, ia kini berlari menuju belakang gedung sekolah untuk menemui gadis yang sangat dicintainya secara diam-diam tanpa diketahui oleh guru atau teman-temannya.

Dia akan menemui pacarnya, dengan sepotong besar kue ulang tahun yang sengaja disimpannya dari acara potong kue bersama keluarganya tadi malam, agar ia bisa berbagi dengan gadis itu hari ini di sekolah. Ia tak bisa membeli kue yang baru karena uang sakunya telah habis disisihkannya untuk mengikuti les piano setiap akhir pekan. Sementara di tangan lainnya, ia membawa sebatang lili berwarna putih, bunga favorit gadis itu. Lili itu juga tak dibeli Gary. Ia memetiknya dari kebun milik ibunya yang ada di halaman belakang rumah, secara diam-diam.

Tak masalah, pacarnya itu bukan gadis yang cerewet dan banyak permintaan. Ia bahkan tetap senang bila Gary muncul untuk menemuinya meski tanpa membawa apa-apa. Namun, Gary terlalu manis untuk muncul hanya dengan tangan kosong.

"Ellaine!" Gary berseru penuh semangat tatkala melihat Ellaine telah duduk di bangku tempat biasa mereka duduk bersama. Segera ia duduk di samping Ellaine, dengan hati-hati sebab bangku itu sudah sangat tua dan mulai reyot.

Tak seperti biasanya, Ellaine tak menampakkan wajahnya yang berseri siang itu.

"Hai, Gary. Selamat ulang tahun untukmu." Ia tersenyum tipis dan mengeluarkan sesuatu dari tasnya, sebuah kartu berisikan ucapan selamat ulang tahun serta kalimat manis tentang betapa ia mencintai Gary. "Maaf aku tak bisa memberikan hadiah yang lebih baik."

"Ini sangat manis, El. Terima kasih." Gary menerima kartu itu dan menyerahkan kotak makan siang berisi kue serta sebatang lili di tangannya pada Ellaine. "Ini untukmu, ayo kita makan kuenya dan rayakan ulang tahunku bersama!"

Ellaine memandangi kue dan bunga yang ada di hadapannya, ia sama sekali tak mengucapkan sepatah kata pun.

"El? Ada apa? Hei, kenapa kau menangis?!" Gary menyadari tetesan air mata di wajah gadis itu dan segera mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya. "Beritahu aku, apa seseorang menyakitimu??"

"Gaz, aku punya berita buruk ... sangat buruk."

"Katakan, siapapun yang menyakitimu akan berurusan denganku," balas Gary dengan gagah berani meskipun ia hanya remaja yang bahkan masih sering dianggap anak-anak oleh keluarganya.

"Orang tuaku, mereka berhutang jutaan Pounds pada keluarga Walter dan kini mereka harus membayarnya segera." Sepasang mata biru Ellaine berkaca-kaca. "Tapi orang tuaku butuh waktu untuk mengumpulkan uang sebanyak itu dan mereka tidak bersedia memberikan waktu."

"Apa itu artinya akan ada sesuatu yang buruk terjadi pada orang tuamu??" Gary ikut cemas.

"Ya! Mereka bilang mereka akan mengambil rumah dan seluruh harta kami lalu mengirim orang tuaku ke penjara."

"Oh, tidak. Bagaimana denganmu nanti??"

"Mereka juga bilang orang tuaku bisa menghindari itu, dengan satu syarat. Orang tuaku harus-" kalimat Ellaine terhenti, tenggorokannya tercekat.

"Apa? Orang tuamu harus apa??" Gary mengguncang pelan bahu Ellaine.

"Mereka harus membiarkanku menikah dengan putra dari keluarga Walter, Rowan Walter, setelah aku lulus sekolah."

Kecemasan Gary kini berganti menjadi kesedihan, kemarahan dan ketakutan yang amat besar. Bagaimana? Bagaimana bisa seseorang menawarkan kesepakatan semacam itu? Bukankah itu sangat tidak masuk akal?

"Apa pendapat orang tuamu??"

"Maafkan aku, Gaz."

"Aku tidak butuh permintaan maaf darimu, aku hanya ingin tahu apa pendapat orang tuamu tentang itu, Ellaine!" Gary menyentuh wajah Ellaine. Mata mereka sama-sama basah menahan air mata yang menggenang dalam sekejap. "Kumohon katakan padaku, mereka tetap akan membayar hutang itu dan mendapat lebih banyak waktu, kan?? Katakan, Ellaine!"

Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang