Hampir dua jam sudah Tania menangis di hadapan Zekey. Sejak pulang dari kantor sore tadi, Tania langsung menghubungi pemuda itu agar datang lagi ke flatnya karena ia ingin curhat. Zekey tak banyak bicara dan dengan sabar menyimak setiap cerita sang adik. Ia ikut sedih melihat Tania mengalami hari yang begitu berat.
Ketika tangis Tania akhirnya reda, terdengar bunyi bel flat. Zekey beranjak untuk membukanya dan ternyata itu Jonas.
"Aku ingin mengambil jaketku yang tertinggal di sini kemarin." Jonas tersenyum. Ia masih dalam seragam sopirnya, mungkin baru menyelesaikan pekerjaan hari itu.
Jonas tertegun saat melihat Tania yang berada di ruang tamu dengan mata merah yang basah, sangat terlihat seperti habis menangis begitu lama.
"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?" tanya Jonas sembari mendekati sang adik.
"Dia-" Zekey menghentikan ucapannya ketika Tania menggelengkan kepala, menandakan bahwa Zekey tak perlu memberitahu Jonas.
"Hanya masalah percintaan yang membosankan," jawab Tania. Suaranya parau dan bergetar. "Zekey, bisakah kau pesan pizza? Aku lapar."
"Tentu." Zekey mengangguk lalu meraih ponsel dari sakunya untuk memesan.
"Pesan yang besar saja agar cukup untuk kita bertiga," lanjut Tania dan Zekey mengangguk lagi.
Mereka tidak banyak mengobrol hingga akhirnya kurang lebih tiga puluh menit kemudian, bunyi bel terdengar.
"Biar aku saja." Jonas bangkit dan bergegas menuju pintu untuk menyambut orang yang mereka duga adalah pengantar pizza. Namun ternyata, bukan.
"Jonas??" Daniel mengerutkan dahi ketika pintu terbuka dan menampakkan sosok yang sama sekali tak ia duga. "Apa yang kau lakukan di sini??"
"Oh, Daniel." Jonas tersenyum ramah. "Aku mengambil jaketku yang tertinggal. Kau sendiri? Apa yang kau cari?"
"Apa??" Daniel tampak tak percaya.
"Jonas, kenapa kau lama-" Tania terpaku dan tak sempat menyelesaikan kalimatnya saat melihat Daniel ada di depan pintu.
"Daniel?" Jonas kembali bicara, "apa yang kau cari?"
"Aku ... ingin bertemu Tania." Daniel mengerling ke arah gadis itu yang ekspresinya kini berubah datar. "Ada hubungan apa kalian?"
"Eh, kalian ternyata saling kenal, ya? Daniel, aku ini kakaknya Tania." Jonas tampak mengingat-ingat. "Oh, astaga! Aku baru ingat, dulu memang ibumu pernah bercerita padaku bahwa kau dan Tania pernah berpacaran tetapi kemudian kalian pu-"
Hening. Jonas baru menyadari betapa canggungnya situasi di antara mereka setelah ia mengatakan itu.
"Ahem, uh, aku ... aku akan masuk." Jonas melangkah kembali ke dalam, membiarkan dua orang itu tetap di pintu, berpandangan tanpa kata.
Sementara Daniel masih terkejut atas fakta bahwa Jonas adalah kakak Tania, gadis itu pada akhirnya melangkah maju.
"Kau ingin bicara? Kalau begitu ayo cepat." Tania melangkah keluar dari pintu tanpa melihat Daniel sedetik pun. Ia berjalan mendahului pemuda itu hingga masuk ke dalam lift.
Keduanya masuk ke dalam lift dan sama sekali tak ada orang lain di dalam sana. Tania menghela napas panjang dan mencoba tenang.
"Aku sudah bicara dengan ayahku." Daniel akhirnya memecah hening lebih dulu. "Dia sudah menjelaskan apa yang terjadi."
Dalam hatinya, Tania sedikit takut. Ia ingin bertanya apakah Daniel dan Gary jadi bertengkar karena hal itu, tetapi ia mengurungkan niat dan tetap menutup mulut, enggan bicara.
"Aku berusaha untuk bisa lebih mengendalikan emosi serta membuat keputusan dengan kepala dingin," lanjut Daniel. Ia hanya memandang ke depan, sama seperti Tania. "Aku tak ingin menyakiti siapa pun."
"Rasa sakit itu bukan sesuatu yang bisa dicegah," balas Tania. "Sekeras apa pun seseorang berusaha menjaga agar dirinya tak menyakiti atau disakiti, rasa sakit itu akan tetap datang, dari mana saja.
"Jadi maksudmu, sia-sia saja menjadi orang baik?"
"Tidak. Aku hanya ingin kau tahu bahwa meski kau berusaha untuk tak menyakitiku, aku tak bisa menjamin bahwa aku juga tak akan menyakitimu, entah itu sengaja atau tidak." Tania mengedikkan bahu.
"Jika kau sengaja, maka kau egois."
"Jika aku sengaja, maka aku tahu apa yang kulakukan."
"Memangnya apa?!" Daniel tak tahan lagi. Dilihatnya gadis itu. "Apa yang pikirmu kau lakukan?!"
Pintu lift terbuka tetapi Daniel langsung menekan tombol menuju lantai paling atas. Pintu tertutup dan ia beralih lagi pada Tania.
"Ini hanya akan jadi pembicaraan yang sia-sia." Tania masih dengan ekspresi datarnya. "Seharusnya kau pulang dan beristirahat. Besok kau harus mengurus bisnismu yang semakin besar itu, kan?"
"Kau telah berubah, Tania." Sepasang mata Daniel berkaca-kaca.
"Seperti seharusnya," balas gadis itu dengan mata yang sama berkilaunya meski ia sudah berusaha untuk tak merasa emosional. "Aku akan mengundurkan diri dari kantor itu."
"Tidak, kau tidak akan mengundurkan diri." Daniel menggeleng. Kedua kakinya melangkah mendekati Tania, membuat gadis itu spontan mundur. Namun Daniel terus mendekat sampai Tania tak bisa mundur lagi karena ia telah berada di sudut lift.
"Kau tidak akan mengundurkan diri," ulang Daniel. "Aku yang akan memecatmu."
Tania justru tersenyum simpul mendengar itu.
"Sebagai pengingat bahwa kau punya kuasa?" cibir Tania. "Fair."
Tak ada kata terucap lagi. Mereka saling berpandangan, tetapi entah apa arti dari pandangan itu. Kekecewaan, kesedihan, amarah, dan mungkin ada sedikit cinta, mereka pun tak bisa memastikan. Di tengah keheningan itu, Daniel tak juga menjauh. Ia tetap menahan Tania di sudut dengan kedua tangannya berada pada sisi-sisi lift.
Pintu lift terbuka di lantai paling atas. Tania langsung mendorong Daniel keras dan menyempatkan diri untuk menekan tombol lift menuju lantai paling bawah sebelum akhirnya berlari ke luar.
Daniel tetap di sana. Sebenarnya ia punya waktu beberapa detik tetapi tampak sama sekali tak berniat mengejar Tania yang sudah berlari menjauh.
Ketika akhirnya Daniel tiba di lantai bawah, ia segera berjalan pergi dari sana. Melewati lorong, dari kejauhan ia melihat sesosok pemuda berjalan dengan langkah yang terburu-buru. Daniel terus berjalan dan akhirnya berpapasan dengan sosok itu.
Pandangan mereka bertemu, membuat langkah Daniel langsung melambat. Ia bisa mendengar langkah pemuda itu juga melambat di belakangnya.
Keduanya terhenti di waktu yang bersamaan. Tak satu pun dari mereka yang berbalik untuk memeriksa satu sama lain—apakah mereka saling kenal atau tidak—tetapi Daniel bisa memastikan bahwa ia mengenali wajah itu.
Wajah yang ia lihat pernah berada dalam satu potret yang sama bersama Tania.
Daniel menahan diri untuk tak menoleh. Ia kemudian melanjutkan langkahnya, di saat yang bersamaan terdengar pula langkah pemuda itu yang semakin menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...