Gary melirik sekeliling ruang rapat yang luas itu. Masih agak sepi. Sepertinya ia datang terlalu awal.
"Gary!" Sebuah panggilan hangat seketika membuatnya berbalik.
"Oh ... Rob?" balas Gary dengan canggung, masih belum terbiasa memanggil nama depan pria itu setiap mereka bertemu. "Kukira kau tidak jadi menghadiri rapat karena penerbanganmu ke London batal?"
"Nah, aku hanya menerka. Cuacanya memang agak payah, tapi penerbangannya tidak dibatalkan." Rob mengedikkan bahu lalu duduk di kursi yang masih kosong. "Ayo duduklah, kau baru tiba di kantor ini juga?"
"Yeah. Aku belum melihat Tuan Harvey sejak tadi."
"Menyebalkan, ya, rapat di akhir pekan?" bisik Rob. "Seperti tidak ada hari lain saja."
Gary terkekeh.
Terdengar suara langkah kaki dan tak lama kemudian, masuklah beberapa pria ke dalam ruangan itu. Mereka tak lain adalah orang-orang yang beberapa waktu lalu mengadakan pertemuan di pameran seni di Paris—para investor yang menjadi rekan satu tim Gary dan Rob.
Beberapa saat setelahnya, menyusul sosok itu, Albert Harvey.
"Selamat pagi, semuanya. Terima kasih sudah datang tepat waktu dalam rapat pertama ini." Seorang pria yang tak lain adalah pemilik dari proyek itu, berdiri sambil memandangi satu per satu peserta rapat. "Kita langsung saja mulai, ya."
Ia secara singkat memperkenalkan diri, Watson—meski sebenarnya semua peserta rapat sudah mengetahui namanya—lalu mulai mempresentasikan mengenai apa saja yang diproyeksikan oleh proyektor di ruangan itu, semuanya tak lain adalah tentang pembangunan tambang berlian di Australia.
Rapat itu berlangsung selama kurang lebih dua jam dengan begitu banyak pertanyaan dan diskusi. Ketika selesai, semua orang—terutama para investor—tampak puas dengan presentasi yang diberikan Watson. Mereka memasang ekspektasi yang cukup tinggi pada proyek itu.
"Baiklah, semuanya, sebelum meninggalkan ruangan ini, aku ingin mengundang kalian semua ke acara makan malam istimewa yang akan diadakan besok malam." Watson akhirnya tersenyum ramah. Sepanjang presentasinya tadi, ia terus memasang ekspresi datar. Ia lalu memberikan isyarat berupa anggukan pada asistennya yang sejak tadi juga duduk di sana. Sang asisten dengan sigap berdiri dan memberikan undangan kepada setiap peserta rapat.
Gary memandangi kartu undangan di hadapannya. Desainnya amat mewah dengan warna biru-hitam dan font warna perak yang berkilap, selayaknya undangan dari sebuah acara eksklusif yang bergengsi.
Meski memang, itu hanya makan malam.
"Aku akan sangat senang bila kalian semua meluangkan waktu untuk hadir di sana, jauh lebih baik lagi jika mengajak pasangan kalian masing-masing," lanjut Watson.
"Eh? Kalau tidak punya pasangan, tetap boleh datang, kan?" gurau Albert yang langsung disusul tawa oleh para kolega.
Watson mengucapkan terima kasih sekali lagi dan membiarkan semua peserta rapat keluar lebih dulu.
***
Uap panas perlahan berhenti mengepul dari cangkir-cangkir teh di atas meja seiring dengan teh Yorkshire di dalamnya yang sejak tadi penuh, belum disesap setetes pun oleh Tania, kedua kakak, serta ibunya di flat itu.
Ellaine memandang ketiga anaknya sekali lagi. Konversasi emosional di antara mereka telah berakhir beberapa menit lalu, tetapi air matanya belum berhenti menitik.
"Tehnya ... sudah dingin," gumam Tania. Ia sudah terlalu terbiasa menyembunyikan air mata sehingga hanya ia saja yang tampak tak menangis sejak tadi. Diraihnya cangkir teh lalu mulai menyesap, tetapi sesekali mencuri pandang ke Zekey dan Jonas yang sepertinya juga belum ingin menyentuh teh mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...