"Aku merindukan karir modelling-ku," gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Daniel, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.
"Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model," balas Daniel. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.
"Kau pasti bercanda."
"Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu." Daniel tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. "Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan."
"Bagaimana kau tahu?" Tania mengerutkan dahi. "Kau ... tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, kan?"
"Aku seorang desainer, Tania, apa kau lupa?" Daniel tersenyum tipis. "Aku sudah mengikuti banyak fashion week dan melihat bagaimana para model itu diperlakukan. Kau, kau adalah satu dari sedikit model yang beruntung karena tak mengalaminya."
"Modelling dan fashion adalah industri yang keras dan kejam," lanjut Daniel.
Tania termenung. Ia tak pernah memikirkan itu sebelumnya. Selama menjadi model, memang ia merasa semuanya lancar-lancar saja. Terutama saat di Magical Entertainment—saat perusahaan itu masih jadi milik Gary—dulu. Tak ada seorang pun yang berani memarahi, berlaku kasar, apa lagi melecehkannya.
"Kurasa kau benar," bisik Tania. Ia lalu menyentuh bekas luka yang ada di wajahnya. "Aku ... sempat begitu sedih setelah semua penolakan karena luka ini."
"Apakah semua itu jadi membuatmu merasa-"
Tania mengangguk, seolah tahu apa yang hendak dikatakan Daniel. "Tidak cantik."
Jika saja tak sedang merasa sakit, Daniel sudah pasti akan menggerakkan tangannya untuk menyentuh wajah Tania. Gadis itu masih saja sering mempermasalahkan masalah kecantikan meski Daniel sudah jutaan kali mengatakan bahwa ia adalah gadis tercantik yang pernah ada.
Mungkin beberapa orang memang seperti itu. Namun Daniel tak bisa membiarkan Tania terjebak pada kekhawatiran yang tak perlu. Gadis itu selalu berusaha mendapatkan kesempurnaan, tanpa henti seolah ingin menggenggam air, atau mengejar angin.
Daniel perlahan menggeser tangan kirinya yang berdekatan dengan tangan Tania. Meski merasa sakit, ia tetap menggerakkan jemarinya hingga menyentuh tangan gadis itu.
"Kau tetap indah di mataku."
Tania memandang Daniel selama beberapa saat. Ia mampu menyunggingkan senyum sebelum akhirnya tetes air mata menitik dari sudut matanya, jatuh di atas ranjang.
Keduanya belum sempat berkata apa-apa sebab ponsel Tania tiba-tiba berdering. Rob meneleponnya.
"Halo?" Selama beberapa saat Tania terdiam, menyimak apa pun yang dikatakan Rob di seberang sana. Daniel tak bisa mendengarnya karena gadis itu tak mengaktifkan mode loudspeaker. Namun ia tahu ada sesuatu yang buruk tengah disampaikan Rob sebab ekspresi wajah Tania mendadak berubah.
Pembicaraan itu berlangsung selama kurang dari tiga menit. Setelah panggilan ditutup, sepasang mata gadis itu berkaca-kaca seketika, bibirnya pun bergetar.
"Tania? Apa yang terjadi?" Daniel langsung khawatir.
"Rob memberitahuku bahwa orang yang membakar flatku malam itu sudah tertangkap." Tania terisak kecil. "Dia ... anak buah ayahku."
"Apa?!" Daniel menggeleng tak percaya.
"Ya, dan ayahku yang memerintahkannya untuk melakukan itu." Ia menatap Daniel, terlihat rasa sakit di sepasang matanya. "Kau bisa percaya itu? Seorang pria memerintahkan orang lain untuk membunuh putrinya sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...