Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.
Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.
Tania mengangkat wajahnya. "Daniel??"
"Hei." Pemuda itu tersenyum. "Sudah waktunya makan siang."
"Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!"
"Aku sudah cukup beristirahat, kok." Daniel melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Makan di restoran ayahku saja, yuk?"
"A-aku ... ba-baiklah." Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Daniel langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.
"Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri," ucap Daniel dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.
Daniel menggandeng Tania menuju Audi yang terparkir di halaman kantor. Tentu saja orang-orang masih memperhatikan mereka saat keduanya melangkah keluar dari pintu.
"Aku merasa tidak enak dengan karyawan yang lain." Tania duduk di sebelah Daniel, menyandarkan punggungnya pada jok dengan gelisah. "Mereka pasti membicarakanku."
"Membicarakan apa?" Daniel mengeraskan volume radio mobil yang kini tengah memutar lagu Stuck With U.
"Well, mereka melihatku begitu dekat denganmu. Pasti mereka berpikir bahwa aku telah melakukan sesuatu semacam ... menggodamu?" Tania mengernyit, tak yakin dengan pilihan katanya.
Daniel terkekeh. "Kita sudah memulai cerita ini jauh sebelumnya, kenapa harus peduli pada apa yang mereka pikirkan?"
Keduanya sama-sama memandang jalanan yang ramai di hadapan mereka.
"Kita nikmati saja cerita kita."
"Kita?" Tania kembali larut dalam lamunan.
Daniel mengetukkkan jemari di atas permukaan meja kayu restoran yang berkilap. Mereka makan di lantai bawah karena lantai atas sudah disewa dan kini sedang dipakai untuk acara khusus.
Aroma steak dari meja di sebelah mereka membuat Tania jadi semakin lapar. Namun makanan pembuka mereka baru akan tiba beberapa menit lagi, jadi ia hanya melirik sekeliling sesekali memeriksa ponselnya yang hampir kehabisan daya.
Saat ponselnya hampir mati, Tania pun meletakkannya dan beralih memandang Daniel. Ia jadi ingat pada kata-kata yang diucapkan pemuda itu tadi malam.
Apakah Daniel mengatakan itu secara tidak sadar karena ia sudah sangat mengantuk? Atau ia memang serius?
Tania memikirkan segala kemungkinan. Apa pun itu, ia tahu benar, Daniel bukanlah orang yang akan main-main dengan ucapannya. Jika Daniel serius, itu artinya ia akan membahas itu lagi, maka Tania juga harus memikirkan jawaban untuk itu.
***
"Aku bingung, apa yang harus kukatakan padanya, Bu?" Tania mencurahkan isi hatinya pada Ellaine malam itu. "Bagaimana jika suatu hari Daniel kembali membahas soal itu atau bahkan ... melamarku??"
"Terdengar seperti sebuah harapan." Ellaine tersenyum penuh arti.
"Eh, b-bukan begitu!" Tania membulatkan mata sambil menggeleng cepat. "Ah, ayolah."
"Kenapa kau tidak renungkan kembali tentang hubungan kalian?" saran Ellaine. "Apa yang membuatmu bahagia dan apa yang tidak, lalu pertimbangkanlah matang-matang."
Tanpa merenung lebih lama pun, Tania bisa menyadari bahwa selama hubungannya dengan Daniel, tak sekali pun pemuda itu mengecewakannya. Daniel begitu dewasa dan selalu menghargainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...