Chapter 51: Don't Give Up on Love

336 44 4
                                    

Setelah tiga hari, Tania akhirnya kembali masuk kantor. Pagi itu ia melihat kopi yang masih panas ada di atas meja kerja dan ia pun memutuskan untuk meminumnya.

"Psst!" Rekan kerja di sebelahnya mendekat. "Itu dari Tuan Barlow."

"Oh, benarkah?" sahut Tania santai sembari menyalakan komputer, bersiap memulai pekerjaan. "Aku sudah menduganya."

"Apa maksudmu kau sudah menduganya?" Rekannya mengerutkan dahi. "Apa kalian punya hubungan khusus?"

"Dia teman lamaku," jawab Tania begitu datar.

Sang rekan memandangnya curiga tetapi Tania tak peduli dan lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya.

Sepanjang jam kerja hari itu, Daniel tak muncul atau memanggilnya ke ruangan sama sekali.

***

Gary bertamu dengan Catherine ke rumah Rob sore itu, untuk membicarakan mengenai kejadian tempo hari serta perihal persidangan Rowan.

"Di saat yang sama, Rowan juga dituntut oleh keluarga Tuan Harvey. Dia sudah melakukan penipuan dan berpura-pura menjadi bagian dari keluarga Harvey padahal tak ada hubungan sama sekali," cerita Gary. "Alfred Harvey juga tidak punya adik. Rowan bahkan diduga terlibat bersama beberapa orang lainnya yang sengaja membuat sakit Alfred semakin parah. Bisa dibilang, mereka memang berniat membunuh Alfred."

Rob menggeleng tak percaya setelah mendengar itu. "That's messed up," decaknya. "Apa mereka sudah menemukan bukti yang kuat?"

"Aku tidak tahu detailnya, yang pasti sekarang Rowan benar-benar sudah diamankan dan dia hanya menunggu untuk menghadiri banyak sekali sidang atas tindakan kriminalnya." Gary mengangkat bahu. "Termasuk salah satunya ... penyerangan terhadap Ellaine malam itu."

"Jadwal sidangnya beberapa hari lagi." Rob memandang Gary lalu tersenyum tipis. "Terima kasih sudah bersedia untuk hadir sebagai saksi."

"Sudah seharusnya." Gary membalas senyum Rob dengan sama tipisnya. "Menyaksikan kejadian itu secara langsung bagiku sangat menyakitkan, apa lagi Ellaine yang menjadi korban."

Sebelum dua tamu itu pamit, Rob memeluk Gary singkat dan memberi tepukan hangat di punggungnya.

"Aku tahu bahwa kau jauh lebih dulu mengenal Rowan, dan aku tahu apa yang-"

"Rob, tolong," sela Gary. Ia memberikan gelengan samar. "Aku tidak akan membicarakan ini."

Gary mengerling ke arah Catherine yang kini menuruni anak tangga yang menuju ke halaman. "Permisi."

Rob memperhatikan kedua tamunya menjauh pergi menuju ke area parkir lalu ia pun kembali masuk ke dalam. Ia melangkah melewati ruang tengah dan berhenti sejenak, menghampiri dua anak muda yang sejak siang tadi ada di sana, duduk di sofa sambil memperhatikan layar laptop.

"Bagaimana?" tanya Rob. "Sudah menemukan jurusan yang kau inginkan, Zekey?"

"Yeah ... sepertinya," jawab Zekey sedikit gugup. Ia memandangi layar laptop. Sang empunya yang tak lain adalah Caspian sejak tadi terus menggulirkan layar. Ia datang ke rumah Rob sejak siang tadi untuk membantu Zekey mendaftar ke perguruan tinggi.

"Jurusan apa?" tanya Rob lagi. Kali ini mendekat untuk ikut melihat apa yang ada di layar laptop.

"Yang jelas bukan jurusan bisnis seperti yang kau harapkan," sahut Caspian. Ia lalu melihat Zekey. "Dulu Rob juga ingin aku masuk jurusan bisnis, dan aku menolaknya mentah-mentah."

Zekey tertawa kecil sementara Rob memutar matanya.

"Aku tidak memaksa, kan?" balas Rob. "Jadi jurusan apa itu? Teknik mesin? Teknik industri?"

"Sastra," jawab Zekey. Seketika Rob mengangkat alis.

"Sastra Mesin?"

Tawa Zekey pecah dan kini giliran Caspian yang memutar matanya.

"C'mon, man," gumam Caspian.

"Maaf, aku hanya tidak mengerti. Kenapa kau ingin kuliah sastra? Kau sudah punya pengalaman di bidang otomotif." Rob menggeleng.

"Sebenarnya ... sejak dulu aku memang suka sastra, tapi aku tak punya pilihan untuk bekerja di bidang itu karena aku sendiri tak punya latar belakang pendidikan yang cukup," jelas Zekey.

"Baiklah." Rob mengedikkan bahu. Ia memang berniat membiayai kuliah Zekey, tetapi ia tak akan memaksa pemuda itu untuk masuk ke jurusan yang tidak diinginkannya, sama seperti saat Caspian memulai kuliahnya dulu, di mana Rob yang membiayai semuanya dan ia tetap membiarkan pemuda itu memilih sendiri jurusan kuliahnya.

Saat itu, Caspian pun memilih sastra.

"Kau sama saja dengan Caspian," gumam Rob keras sebelum akhirnya melangkah pergi dari sana.

"Berisik," sahut Caspian. Ia sudah biasa tampak tidak akur dengan Rob meski sebenarnya tidak begitu. Ia lalu mendekatkan laptopnya pada Zekey. "Alright, Ze, ini form pendaftarannya. Kau isi saja."

"Okay." Zekey mengangguk lalu mulai mengisi form yang tersedia.

***

Waktu menunjukkan pukul smebilan ketika Daniel selesai membereskan barang-barangnya. Ia akan kembali ke Paris besok pagi.

"Apa semuanya baik-baik saja?" Gary berdiri di depan pintu kamar Daniel yang terbuka lebar.

Daniel hanya mengangguk singkat. Ia lalu duduk di ujung ranjang, memandangi koper yang baru selesai ia kemas. "Aku tidak ingin membiasakan diriku untuk berbuat sesuka hati terhadap orang lain hanya karena aku punya kemampuan dan kewenangan untuk melakukannya."

"Apa yang kau bicarakan?" Gary menyilangkan kedua lengannya, masih berdiri di depan pintu.

"Tania ... aku sudah mengatakan hal yang kurang baik padanya."

"And what was that?"

Daniel memandang lurus wajah sang ayah sebelum akhirnya menceritakan tentang ancaman black-list yang ia berikan pada Tania beberapa waktu lalu, membuat Gary terkejut.

"Daniel, kau tak seharusnya-"

"Aku tahu, Ayah." Daniel tampak menyesal. "Aku tahu itu salah, dan aku sama sekali tak berniat melakukannya. Aku hanya mengatakannya agar dia tak pergi dari kantor itu."

"Ayah yakin dia tidak akan pergi jika kau memperlakukannya dengan baik." Gary berdecak.

"Yeah ... aku terlalu bodoh hingga membiarkan diriku mengatakan hal semacam itu." Daniel mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. "Mungkin karena aku masih merasa kecewa dan sakit hati?"

Gary mendekat lalu memberikan tepukan pada pundak putranya. "Kau akan baik-baik saja."

Bandara seperti biasa selalu ramai, tetapi tak bisa membuat kesepian yang dirasakan Daniel menghilang saat ia melangkah di antara ribuan orang-orang di pagi yang sibuk itu.

Ia merasa tak sanggup kembali ke Paris dengan suasana hati seperti ini meski ia tahu bahwa ia bisa kembali ke London kapan saja.

"Don't wanna throw away my life, I need you ...." Hanya musik yang ia dengarkan melalui airpods yang mampu membuatnya sedikit lebih tenang. "Something tells me we'll be alright ...."

Ia menyandarkan dirinya pada bangku pesawat kelas bisnis. Pandangannya terpaku ke luar jendela pesawat kala benda itu mulai lepas landas, meninggalkan lapangan terbang London Heathrow. Namun Daniel tahu satu hal.

Hatinya akan tetap tertinggal di kota itu.

Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang