"Besok akhir pekan, kau tidak pulang?" Daniel menghampiri Jonas yang tengah duduk di halaman samping, memandangi mobil dari kejauhan yang baru saja ia parkirkan.
Jonas hanya tersenyum lalu menggeleng samar. Sejak Daniel berada di sini beberapa minggu terakhir, mereka menjadi teman yang cukup akrab. Entah karena Daniel yang begitu rendah hati atau karena Jonas yang begitu menyenangkan—atau mungkin juga karena keduanya—yang jelas, mereka sering menghabiskan waktu senggang mereka yang amat sedikit dengan mengobrol bersama dan membicarakan banyak hal. Kebanyakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan hobi anak muda seperti olahraga atau semacamnya.
Satu hal yang tak mereka ketahui dari satu sama lain, adalah bahwa mereka sama-sama mengenal Tania.
Sementara itu, Catherine yang selalu memperhatikan Daniel ketika berada di rumah itu, merasa senang ketika melihat putranya tampak berteman baik dengan Jonas, meski dalam hatinya ia sedikit khawatir.
Ia khawatir jika Daniel tahu siapa Jonas, mungkin akan ada sesuatu yang berubah di antara pertemanan mereka.
"Apa sebaiknya kita beritahu Daniel bahwa Jonas itu kakak Tania?" ucap Gary. Ia berdiri di samping Catherine, dari balik jendela, ikut-ikutan memperhatikan dua anak muda yang tengah mengobrol di halaman.
"Jangan!" Catherine memandangnya serius. "Biarkan saja."
Daniel memberikan satu kaleng soda untuk Jonas yang kemudian langsung dibuka oleh pemuda itu.
"Kau tahu? Ibumu selalu bercerita tentang kau." Jonas memandang Daniel sambil tersenyum kecil. "Tentang betapa dia sangat menyayangimu hingga setiap kali dia melihat anak laki-laki yang seumuran denganmu, ia selalu ingat padamu."
Daniel tertawa kecil. Ia tidak terkejut akan hal itu.
"Ibuku dan aku benar-benar sangat dekat. Kurasa tak ada orang yang begitu dekat denganku selain dia." Daniel menerawang jauh. "Well, baru-baru ini aku kembali dekat dengan ayahku."
"Aku tidak bermaksud ingin banyak tahu tentang keluargamu, tapi saat aku baru bekerja di sini ... ayah dan ibumu tampak tidak begitu dekat," kata Jonas dengan hati-hati. "Sekarang sepertinya semua sudah berubah."
"Mereka sudah berbaikan." Daniel melihat Jonas dengan senyum yang tak berusaha disembunyikannya. "Bisakah kau bayangkan itu? mereka bercerai saat aku masih kecil, selama belasan tahun lamanya aku tak pernah berhenti berharap bahwa mereka akan kembali lagi. Pada akhirnya mereka benar-benar kembali!"
"Pasti sangat membahagiakan." Jonas memandangi kaleng soda di tangannya. Pikirannya berkelana jauh, mengingat hari-hari lama yang menyakitkan. "Kedua orang tuaku juga bercerai saat aku masih kecil, tapi aku tak pernah berharap mereka akan kembali lagi."
"Kenapa?" Daniel mengerutkan dahi.
"Mereka ... bukan pasangan yang tepat, kurasa." Jonas mengedikkan bahu. "Lagi pula sejak keluarga kami berantakan, aku tak pernah bertemu mereka lagi dan kini ibuku sudah menikah lagi."
"Tunggu, apa?" Daniel memandang Jonas bingung. "Kau ... tidak pernah bertemu dengan keluargamu lagi?"
"Baru-baru ini aku bertemu mereka. Ibu dan adikku, tapi aku merasa tak ada gunanya bicara lagi dengan mereka."
"Apakah ada ... sesuatu?"
"Tidak ada, hanya aku saja yang tidak ingin melihat mereka lagi." Kaleng soda di tangan Jonas mulai berubah bentuk kala Jonas meremas benda itu kuat dalam genggamannya.
"Mereka melakukan kesalahan apa hingga kau tak ingin melihat mereka lagi?"
"Kesalahan apa?" Jonas termenung. Ia mengulang kata-kata itu dalam kepalanya.
Kesalahan. Apa kesalahan ibu dan adiknya?
"Kau tahu, semua orang pasti membuat kesalahan. Ayahku tak pernah ada di sisiku selama bertahun-tahun, itu menyakitkan dan membuatku marah, tapi aku memaafkannya." Daniel menghabiskan soda yang tinggal sedikit di tangannya. "Kau bisa menjalani sepanjang hidupmu dengan membiarkan amarah itu, atau kau bisa memilih untuk memaafkan mereka."
Dering ponsel Daniel menyela.
"Oh, aku harus bersiap. Sampai nanti, Jonas." Daniel beranjak dari tempat duduknya. Ia menyempatkan diri untuk menepuk pundak Jonas sebelum melangkah pergi dari sana.
Jonas menghela napas panjang. Ia teringat akan kalimat Zekey malam itu saat Ellaine datang menemuinya bersama Tania.
"Jonas, kau tak tahu apa yang terjadi, berhentilah berpikir buruk tentang ibu!"
Memang benar, Jonas tak tahu apa yang terjadi. Satu-satunya hal yang ia tahu adalah bahwa Ellaine tak berusaha mencarinya bahkan ketika Ellaine sudah menikah lagi dan memiliki kehidupan yang lebih baik. Selain dari itu, Jonas memang tak tahu apa-apa lagi. Ia bahkan tak tahu bagaimana kondisi Ellaine.
Bagaimana pula dengan Tania? Terlalu banyak yang Jonas tak tahu, tetapi terlalu cepat ia menyimpulkan segalanya.
Jonas memutuskan untuk pulang ke flatnya malam itu.
"Ibu sudah kembali ke Paris." Zekey bicara tanpa melihat Jonas setelah kakaknya itu mengatakan bahwa ia ingin menemui Ellaine. "Lagi pula kau tak perlu menemui ibu jika hanya ingin memakinya saja."
Jonas merasakan hatinya teriris ketika Zekey mengatakan itu. Ia sadar ia telah menempatkan rasa bencinya pada orang yang salah.
"Apakah sekarang, aku yang kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya?" ucap Jonas lirih.
Zekey yang sejak tadi memaksakan diri terus melihat ponselnya agar tak melihat Jonas, pada akhirnya tak tahan lagi. Ia mengalihkan pandangannya pada sang kakak. Sepasang mata Jonas tampak berkilau karena air mata yang tertahan di sana.
"Jonas?" Zekey merasa tak percaya. Sungguhkah kakaknya telah berubah pikiran?
"Jika aku belum bisa menemui ibu lagi sekarang, bisakah setidaknya aku bertemu Tania?" Suara Jonas bergetar. Ia melangkah lebih dekat hingga Zekey bisa melihat dengan jelas air mata yang mulai jatuh di wajah Jonas. "Kau tahu dia ada dimana, kan?"
Zekey merasakan matanya menghangat. Ia bahkan tak ingin tahu bagaimana Jonas bisa berubah pikiran, ia hanya langsung mengangguk cepat dan langsung meraih jaketnya, menarik tangan Jonas untuk kemudian menuju flat Tania.
Zekey tak memberitahu Tania bahwa ia akan datang bersama Jonas. Ia justru tak memberitahu sama sekali bahwa ia akan datang, sehingga ketika pintu flat terbuka, Tania tertegun melihat Zekey datang bersama Jonas di belakangnya.
"Aku ... ingin bicara," ucap Jonas seraya menatap lurus gadis itu.
***
Rob memandangi layar laptopnya dengan bingung. Ellaine sejak tadi menyuruhnya agar tidur karena ini sudah larut, tetapi Rob masih terusik dengan beberapa data dan nama yang kini ditampilkan layar. Ia merasa asing dengan yang ada di sana. Data dari sebuah perusahaan serta beberapa orang di dalamnya.
Dering ponsel di atas meja mengalihkan perhatian Rob sejenak.
"Sayang? Ponselmu berdering." Rob menepuk pelan lengan istrinya yang sudah memejamkan mata beberapa menit lalu. Diambilkannya benda itu dari atas meja. "Oh, ini Tania. Panggilan video."
"Tania?" Ellaine menggosok matanya dan berusaha menghilangkan kantuk sebelum akhirnya menjawab panggilan. "Ya, sayang?"
"Hai, Ibu." Tania tersenyum di sana. "Tebak aku sedang bersama siapa?"
"Huh? Siapa?" Ellaine mengerutkan dahi. Ia kemudian menyadari bahwa sepasang mata putrinya merah seperti habis menangis. "Sayang, apa kau baik-baik saja?? Apa yang terjadi dengan mata-"
Kalimat Ellaine terhenti saat Tania mengarahkan kamera ponsel ke sosok yang ada di sebelahnya. Ellaine dengan cepat mengenali sosok itu.
"Hai, Ibu." Jonas tersenyum. Matanya juga tampak basah. "You alright?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)
RomanceSebelum terkenal sebagai model, Tania telah lama menjadi sugar baby dari Gary Barlow, seorang pengusaha kaya raya yang memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Sejak bercerai dengan Catherine, istrinya, Gary enggan menikah lagi d...