Chapter 54: Counting on High Hope

347 40 12
                                    

Gary dan Catherine masih tak tahu harus mengatakan apa. Mereka hanya saling berpandangan kala Tania tak hentinya menangis sambil tertunduk di hadapan mereka sejak tadi, sejak mereka datang ke rumah sakit setelah mendapat kabar mengenai kebakaran itu dan putra tunggal mereka menjadi salah satu korbannya.

"Maafkan aku," bisik Tania di tengah isak tangis untuk yang ke sekian kali. Ia kemudian mengerling ke arah Daniel yang kini berbaring di ranjang rumah sakit dengan luka bakar derajat 2 di tangan serta kakinya. "Daniel jadi seperti ini karena aku."

"Tania, ini bukan salahmu," balas Catherine. Ia memang tulus mengatakan itu, bukan karena segan atas kehadiran Rob dan Ellaine di ruangan itu yang tadi datang hampir bersamaan dengan mereka.

Atau jika ia tidak tulus pun, mungkin tak akan ada yang menyalahkannya juga. Putranya hampir mati dan semua itu demi Tania.

"Ini salahku ...." Tania mendadak berlutut di hadapan Catherine, membuat wanita itu spontan mendekat dan menariknya agar berdiri kembali. "Maafkan aku, Catherine ...."

Ada sesuatu yang membuat Catherine merasa begitu tak sampai hati. Bisa saja ia memaki Tania sekarang, mengatakan pada gadis itu bahwa ia sudah terlampau jauh menyakiti Daniel, tetapi tidak, Catherine merasa ia tak punya alasan yang cukup kuat untuk bisa mengatakan itu. Bahkan jika ia punya, ia tak yakin akan sanggup mengatakannya.

Jadilah akhirnya ia tak mengatakan apa pun, tetapi malah menarik Tania ke dalam pelukannya.

Catherine bisa merasakan betapa Tania kini merasa amat ketakutan. Kejadian itu pastilah sangat mengerikan dan bahkan meski Tania tak terluka parah, ia tetap mengalami trauma.

"Tenanglah, aku mengenal Daniel, dia anak yang kuat," bisik Catherine sembari menepuk lembut punggung Tania. Padahal dalam hatinya, ia ketakutan setengah mati.

Ellaine dan Rob memilih tak bicara, tetapi mereka tahu bahwa mereka berutang ucapan terima kasih yang tak terhingga pada Daniel yang telah menyelamatkan putri mereka. Gary pun sama. Ia lebih memilih untuk membiarkan Catherine bicara sebab ia tahu, ia tak punya sesuatu yang bagus untuk diucapkan pada situasi semacam ini.

Tania diperbolehkan pulang karena ia tak mengalami luka serius—bahkan sebenarnya ia hampir tak terluka sama sekali—tetapi gadis itu memilih untuk tetap tinggal, berada di ruangan Daniel bersama Catherine.

"Apa kini kau percaya bahwa Daniel benar-benar mencintaimu?" tanya Catherine, melenyapkan keheningan yang memerangkap dirinya dan Tania sejak Gary, Rob dan Ellaine pergi setengah jam yang lalu.

"Tentu," jawab Tania dengan suara serak karena terlalu banyak menangis. "Hanya saja aku masih tak mengerti kenapa Daniel masih sanggup mencintaiku setelah semua yang kulakukan terhadapnya."

"Menurutmu ... putraku bodoh?"

Tania memandang Catherine.

"Sejujurnya, 'gila' adalah kata yang lebih tepat." Tania menggeleng pelan. "Aku benar-benar tidak tahu lagi bagaimana mendeskripsikan sosok Daniel. Dia—"

"Kita tak akan pernah cukup waras untuk sesuatu yang disebut cinta." Catherine tersenyum tenang. "Aku akan ke luar untuk mengambil kopi. Kau tetap di sini, ya?"

Tania mengangguk lemah dan Catherine pun melangkah keluar dari ruang rawat inap bertipe VIP itu.

"Akhirnya hanya kita berdua."

Tania melirik Daniel yang tiba-tiba bersuara. Sejak tadi pemuda itu memang tak bicara. Ia sama sekali tidak pingsan, tetapi rasa sakit akibat luka bakar yang ada membuatnya memohon pada dokter agar memberikan painkiller dan obat-obatan semacam itu selalu memicu kantuk. Tadi ia sempat tertidur selama beberapa menit sebelum akhirnya terjaga kembali.

Sugar Daddy-in-Law (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang