#13 Mama

561 72 3
                                    

Sagara melepaskan seat belt nya. Cowok itu sudah sampai dikediaman milik keluarga Dana, yang mana juga kediaman milik Adhara.

Sagara menoleh ke arah sampingnya, tepat dimana Adhara tengah duduk dikursi penumpang. Gadis itu nampak termenung, bahkan tidak sadar kalau dirinya sudah sampai.

"Hei, udah sampe." Sagara menyadarkan Adhara dengan berucap sambil mengelus pucuk kepalanya.

Adhara yang tersadar ada yang menyentuh kepalanya pun menoleh sekilas ke arah Sagara, kemudian berucap terima kasih. Tidak ada protes dan amarah dari gadis itu ketika cowok bernama Sagara sedari tadi memeluk, mengelus kepalanya, dan mengantarkannya pulang. Dia terlalu tidak punya banyak tenaga untuk protes. Sedari tadi tenaganya sudah dihabiskan untuk menghadapi Ares.

"Terima kasih."

Adhara keluar dari mobil cowok itu, ia berjalan memasuki gerbang rumah kemudian dengan cepat membuka pintu bangunan bercat putih dengan bergaya minimalis itu.

Adhara ingin buru-buru masuk ke dalam kamar dan mengunci diri entah sampai berapa lama. Ia benar-benar ingin menghabiskan waktunya disana. Merenungkan segala hal yang sudah terjadi hari ini.

Plak

Satu buah tamparan mendarat dengan mulus di pili putih Adhara. Itu perbuatan sang Mama. Adhara menatap wajah wanita yang telah melahirkannya.

Apalagi ini? Pikirnya.

"Apa yang kamu lakuin ke Adhina?" Intonasi yang tegas namun mengintimidasi Adhara. Lagi-lagi semua akan selalu dilimpahkan kepada Adhara, dia yang pasti salah.

"Aku gak ada maksud apa-apa Mah, itu cuma salah paham." Adhara membela dirinya. Dia memang disini tidak bersalah. Bahkan posisinya benar, ingin menolong Adhina dari orang yang berniat jahat pada kembarannya itu.

"Salah paham apa Adhara? Abang kamu telfon Mamah, Adhina masuk rumah sakit karena kamu pukul. Dan lagi, Mamah udah bilang kan untuk gak usah ikut bela diri gak penting itu dari dulu? Karena hal itu akan buat kamu berubah jadi anarkis Adhara!" Rasya mulai meninggikan intonasinya.

"Tapi Mamah salah paham," ucap Adhara mencoba menarik perhatian sang mama untuk mendengarkan penjelasannya terlebih dahulu.

"Kamu itu selalu, bilang salam paham lah, berantem karena membela ini dan itu. Yang jelas, berantem dan kekerasan itu gak ada baiknya Adhara. Apapun itu alasannya. Dan karena itu, kamu hari ini berhasil buat adik kamu masuk rumah sakit. Apa kamu puas liat itu? Dari kecil, Adhina itu berbeda dari kamu. Dia lemah, dan harusnya kamu sebagai kakaknya dia ada untuk lindungin dia, bukan sakitin dia. Kamu punya segalanya, sedangkan Adhina harus bertahan untuk hidup dengan penyakitnya. Kamu seharusnya sadar akan hal itu, bukannya malah buat Adhina celaka."

Adhara terdiam. Lagi-lagi semua kembali dengan kondisi Adhina yang lebih lemah dibandingkan Adhara. Tadi, Mama nya bilang bahwa Adhara beruntung? Memiliki segalanya? Apa yang Adhara miliki? Perhatian sang Kakak? Tidak ada, hak istimewa dari setiap orang? Tidak ada. Semua atensi ditunjukkan kepada Adhina. Adhina yang selalu menjadi prioritas ketika ada apapun. Semua pasti mendahulukan kepentingan Adhina. Apa selama ini Adhara protes? Tidak ada.

Tapi, kenapa semua orang seakan mengalahkan nya atas perbuatan dia hari ini yang bahkan tujuannya untuk membela dan melindungi Adhina? Kenapa semua orang tidak mau mendengarkan dia? Ia ingin sekali didengarkan seperti Adhina. Ia ingin sekali menjadi seseorang yang dipedulikan. Tapi, apa Adhara bisa berontak dan meminta semuanya? Tidak. Jika dia lakukan itu, yang ada semua orang akan mencapnya sebagai anak egois yang tidak mau mengalah dan memberikan apapun demi Adhina.

"Mulai sekarang, tinggalkan bela diri itu." Tegas Resya.

"Tapi Mah," ujar Adhina sambil berusaha menggenggam tangan Resya. Namun respon wanita yang ia panggil Mamah itu sangat tidak disangka.

Resya menepis tangan Adhara dan sedikit mendorongnya. Entah itu reflek atau memang sengaja.

Tiba-tiba saja tubuh Adhara tidak seimbang dan membuat nya limbung dan jatuh kebelakang, untung saja ada seseorang yang sigap menangkapnya.

"Gak apa-apa?" Tanya orang itu. Adhara menoleh dan mendapati Sagara disana. Ternyata cowok itu belum kembali ke rumahnya, dan itu berarti dia mendengar semua yang tadi Adhara dan Mamahnya bicarakan.

"Iya." Balasan Adhara cukup membuat lega Sagara. Cowok itu lalu membantu Adhara berdiri.

"Tante, bukan saya mau ikut campur. Tapi, lebih baik tante dengerin penjelasannya Adhara dulu." Sagara mulai berbicara pada wanita yang berstatus ibu dari Adhara dan sahabatnya-Ares.

"Udahlah Sagara, kamu gak usah ikut belain dia dan menganggap semua ke-anarkisan dia ini hal yang benar." Resya membantah dan tidak ingin mendengarkan apapun.

"Dan lagi kamu Adhara, Mamah males liat muka kamu. Orang yang dengan tega sakitin saudara kandungnya sendiri." Resya kemudian pergi masuk kedalam rumahnya.

"Mah! Maafin Adhara Mah. Iya Mamah boleh salahin Adhara, tapi jangan bilang kalau Mamah males liat wajah Adhara Mah!" Adhara mulai menahan pergelangan tangan Mamahnya.

Namun, respon Resya lagi-lagi tidak mengenakan. Wanita itu bahkan mendorong Adhara dan menutup pintu rumahnya.

Adhara terjatuh untuk kedua kalinya dan dengan sigap Sagara selalu menahannya untuk tidak jatuh ke tanah.

"Mamah!" Teriak Adhara yang langsung membenarkan posisinya dan mengetuk pintu rumahnya. Ia tau, Mamahnya benar-benar kecewa pada dia. Mamahnya itu tidak pernah sampai malas melihat wajah dia mau semarah apapun. Mamahnya itu benar-benar seseorang yang baik, tapi hari ini Adhara melihat sisi Mamahnya ketika benar-benar sudah marah besar, dan Adhara tidak ingin itu terjadi lagi nantinya. Adhara bisa hidup tanpa apapun kecuali Mamah dan Papahnya. Dua hal berharga dalam hidup Adhara.

Air mata Adhara kembali terjatuh. Saat ini tiba-tiba saja ia merindukan sang Papa. Ia ingin memeluk laki-laki itu. Sayangnya, beliau sedang ada diluar kota untuk suatu pekerjaan.

"Hei, masuk mobil dulu yuk." Sagara berucap lalu menuntun Adhara untuk kembali masuk kedalam mobil milik dia.

Didalam mobil, Adhara hanya bisa menangis dan menatap nanar ke arah rumahnya.

Dalam hati, Sagara benar-benar sakit sekali melihat Adhara menangis sangat banyak hari ini. Ia bahkan lebih rela Adhara marah-marah dibandingkan menangis. Ia tidak suka ada yang menyakiti dan membuat air mata gadis itu turun dengan derasnya.

Tangan Sagara segera mengetik sesuatu diponselnya. Untung saja dia sudah bertukar nomor telfon dengan Cita. Sepertinya, hanya Cita yang dapat menemani Adhara untuk saat ini.

Setelah mendapatkan jawaban dari Cita, Sagara segera melajukan mobilnya. Posisi Cita ada di apartemen pribadi milik gadis itu yang letaknya dekat kampus.

Adhara tidak bertanya apapun ketika Sagara membawanya pergi tanpa mengatakan tujuannya. Yang sedang ia pikirkan sekarang adalah, apa yang harus ia lakukan setelah ini.

To be continue...

Menurut kalian, Mamahnya Adhara jahat? Atau hanya perasaan kecewa dan kaget sampai bisa lakuin itu

Antara Sagara, Adhara, dan Adhina [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang