#54 Pundak dan Pelukan

680 59 2
                                    

Ares berjalan keluar dari ruang inap dimana kedua adiknya berada. Cowok itu membutuhkan udara segar saat ini.

Setelah kejujuran nya pada sang Papa dan Mama, juga konsekuensi yang sudah ia terima akibat semua perbuatannya, kini Ares sadar bahwa dirinya dimasa lalu benar-benar seburuk itu.

Mulai detik ini, ia akan berjanji untuk menjadi lebih baik. Terutama untuk adik-adik nya.

Cowok itu tiba di taman rumah sakit, duduk disalah satu bangku besi yang ada disana. Menatap langit yang nampaknya sangat sepi tak ada penghuni satupun. Kemudian beralih melihat pemandangan didepannya yang langsung mengarah ke jalan. Ramainya lalu lintas membuat Ares tersadar bahwa hari sudah berganti, matahari yang sebelumnya sibuk melakukan tugasnya sudah berganti.

Malam ini udara jauh lebih dingin dari sebelumnya. Entah akibat ingin turun hujan atau memang kebetulan saja.

Helaan nafas kasar keluar dari mulutnya, seperti telah mengeluarkan segala lelah dan pengekspresian semua masalah yang terjadi hari ini.

"Kenapa disini? Bukannya ke kantin buat makan." Suara itu membuat Ares menoleh ke arah samping kanannya.

Disana terlihat seorang gadis yang tengah menatapnya dengan wajah kesal.

"Duduk." Perintah Ares yang dituruti gadis tersebut.

"Lo butuh makan," ujarnya lagi.

Ares tersenyum lalu menatapnya dengan intens. Membuat gadis itu salah tingkah dibuatnya.

"Sekarang perhatian?" Pertanyaan Ares membuat dia berdecak kesal.

Ares tersenyum semakin lebar. Apakah dia pernah bilang bahwa ketika gadis disebelah nya sedang kesal atau marah adalah sesuatu hal paling menggemaskan yang pernah Ares lihat.

"Nyebelin banget sih, dikasih tau juga."

"Iya makasih udah kasih tau. Tapi gak laper," balas Ares.

"Adhara pasti maafin lo," ujarnya yang entah mengapa tepat sekali dengan apa yang saat ini sedang Ares takutkan.

Cowok itu memang takut jika Adhara tidak memaafkannya, atau bahkan membencinya. Itu juga hal yang tidak salah sih, mengingat bahwa perlakuan nya kepada Adhara begitu tidak baik.

Cita. Gadis yang saat ini berada disebelahnya entah mengapa membuat dirinya lebih tenang. Sosok gadis itu yang galak dan terkesan sangat membencinya kadang malah membuat Ares selalu mencari keberadaan dia. Karena entah mengapa hadirnya Cita justru membuat Ares jauh lebih merasa tenang.

"Iyakah?" Tanya Ares sambil membayangkan beberapa kemungkinan terburuk yang akan Adhara lakukan padanya. Lebih baik mungkin jika Adhara memukuli nya, dia akan menerima hal itu.

"Iya, udah gak usah mikir aneh-aneh. Dia se sayang itu sama lu," balas Cita sambil menyenderkan tubuhnya pada sandaran bangku yang sedang dia dan Ares duduki.

"Boleh gua minta satu hal sama lu?" Tanya Ares sambil menatap gadis disebelahnya.

"Boleh."

"Ceritain tentang Adhara. Apa yang selama ini dia rasain, gimana dia sebenarnya."

Cita memandang cowok itu sebentar lalu mengangguk.

"Seperti yang gua selalu bilang, dia sangat sayang sama lu dan Adhina. Mau sejahat apapun kalian, mau sekeras apapun lu membenci dia, dia gak pernah sekalipun berfikir untuk membalas dendam atau balik membenci kalian. Dia gak sekuat yang dilihat. Dia pernah ke psikolog untuk konsultasi dan kontrol diri dia karena beberapa kali dia pernah nyakitin dirinya sendiri."

Ares diam menyimak ucapan Cita, dia benar-benar semakin merasa bersalah.

"Jujur gua benci banget sama lu ketika lu dengan seenaknya keluar kata-kata jahat ke dia. Sumpah demi apapun , itu memperburuk kondisi dia. Dia semakin ngerasa gak berguna dan semacamnya."

"Gua gak pantes kayaknya dapet maaf dari dia, gua sejahat itu." Ucapan Ares membuat Cita menghembus nafasnya kasar.

"Sini," ujar Cita sambil merentangkan tangannya. Membuat Ares mengerutkan dahi bingung.

"Kata nyokap gua, kalau lagi sedih itu dikasih pelukan jadi lebih baik."

Ares lalu berhambur kedalam pelukan Cita. Sungguh ini adalah pelukan ternyaman setelah pelukan ibunya.

"Lu pantes dapat maaf. Setiap manusia berhak dapat kesempatan kedua. Dan gua harap dikesempatan kedua ini, lu bisa perbaiki semuanya. Gak harus langsung, pelan-pelan aja. Adhara akan sangat seneng bahkan cuma dengan lu tanyain dia 'udah makan belum?' atau 'hari ini ada mata kuliah apa?'. Mulai dari perhatian kecil."

Ares mengangguk dalam pelukan, dia berterima kasih kepada Cita karena telah hadir dan memberikan beberapa pelajaran untuk dia.

"Makasih," ujar Ares.

"Hmm iya," balasnya.

Malam itu, menjadi saksi dua anak manusia. Yang memiliki hati sekeras batu mampu luluh oleh seorang anak manusia yang terlihat keras kepala namun dewasa.

--
Sementara itu, Adhina yang berada didalam ruang inapnya merasa jengah melihat interaksi antara kedua orang tuanya pada Adhara.

Entah mengapa semua perhatian tertuju pada kakak kembarnya itu. Padahal, disini ada dia juga yang butuh perhatian.

Adhina lalu turun dari ranjang dan berjalan keluar, tidak memperdulikan tatapan orang tuanya yang penasaran kemana dia pergi.

Memikirkan hukuman dari sang Papa membuat Adhina menghela nafasnya lelah. Dia tidak ingin pergi dari kota dan negara kelahirannya ini, namun ia tidak bisa melakukan apapun. Pilihannya sangat sulit. Dan pergi meninggalkan negara tercinta nya ini adalah pilihan yang paling tepat.

Adhina berjalan menyusuri koridor rumah sakit, sampai akhirnya dia berhenti didepan sebuah ruangan dengan kaca besar yang memperlihatkan isi didalam ruang tersebut. Ruangan bertulisan 'Ruang Bayi'.

Adhina tersenyum melihat seorang anak baru lahir dengan sarung pembungkus berwarna pink, anak itu sangat cantik.

"Manusia itu lahir tanpa dosa, dia lalu tumbuh dan menciptakan dosa-dosa yang diperbuat nya. Tapi, Tuhan gak pernah sekalipun marah ketika dia berusaha untuk berubah. Kesempatan kedua selalu ada." Suara itu membuat Adhina menoleh dan mendapati Erlang berdiri disebelahnya sambil bersidekap dada dan menatap ke arah bayi itu juga.

"Ngapain disini?" Tanya Adhina. Erlang diam.

"Mau ngejek gua karena gua kalah?" Tanya Adhina dengan kesal.

"Dari awal yang nganggep ini kompetisi cuma lu. Adhara? Dia gak pernah sekalipun berfikir demikian. Lu terlalu fokus sama sesuatu yang jauh dari jangkauan, buat lu buta dengan sekitar bahkan abaikan orang yang jelas-jelas sayang sama lu, yaitu Adhara. Dia udah banyak lakuin hal demi buat lu bahagia."

Adhina terdiam. Ia tiba-tiba memikirkan sosok saudara kembarnya itu.

Ucapan Erlang sebernya benar. Banyak sekali hal yang Adhara lakukan untuk dia. Dari kecil, Adhara sudah dituntut untuk selalu mengalah demi dia.

"Kesempatan kedua berhak didapatkan buat orang yang bener-bener mau berubah," ujar Erlang lagi.

"Gua terlalu buta sama perasaan gua pada Kak Sagara."

"Sadar juga," balas Erlang.

"Lepasin dia, buat diri lu sebebas mungkin."

Adhina menatap cowok disebelahnya itu. Ia baru tau kalau Erlang adalah orang yang banyak bicara? Ia selalu melihat cowok itu jarang berbicara. Bahkan terkesan sangat sok cool, menurut dia.

"Lu tuh sejak kapan ya banyak omong?" Tanya Adhina sambil tersenyum. Namun Erlang tidak menanggapi.

Adhina lalu kembali menatap bayi yang sedari tadi dia lihat bersama Erlang. Tanpa sadar, Adhina menaruh kepalanya dipundak cowok itu.

"Bantu gua untuk lepas dan bebas seperti yang lu bilang." Ucapan Adhina membuat Erlang menatap gadis itu.

Di lorong putih itu telah menjadi saksi awal dari sebuah hati yang mulai berlabuh pada dermaga yang baru.

To be continue...

Antara Sagara, Adhara, dan Adhina [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang