#51 Datangnya Keburukan

497 60 4
                                    

Pagi ini Adhara dan Cita sudah berada dikampus mereka. Memang libur semester sudah tiba, namun dia masih harus datang untuk mengambil hasil belajarnya selama di semester tersebut.

"Kalau nilai gua jelek, mampus aja sih gua Dhar bakal di marahin abis-abis an." Cita berucap dengan takut.

"Ya kalau dimarahin tinggal dengerin."

"Lu mah gampang ngomong gitu. Lu tau sendiri orang tua gua kalau marahin dari A ke Z terus balik lagi ke A lalu Z, gak ada habisnya," ujar Cita.

"Terus gua kudu apa Cita? Ya kali gua ajak orang tua lu diskusi tentang perang dunia kedua, atau konspirasi segitiga bermuda? Apa gua ajak bahas saham biar lu gak diomelin?"

Cita berfikir sejenak, jika dibayangkan apa yang Adhara katakan juga menarik dan pastinya orang tua Cita bisa beralih fokus untuk tidak memarahinya.

"Ide bagus," balas Cita.

"Orang gila!" Sahut Adhara.

Keduanya lalu sampai di perpustakaan. Di kampusnya memang setiap mahasiswa wajib mencetak hasil semester mereka secara mandiri lewat komputer yang ada di perpustakaan karena hanya disana nilai bisa diakses.

Pagi ini perpustakaan cukup sepi. Maklum saja, jam masih berada diangka 8. Jika sudah sampai diangka 9 pasti akan sangat ramai, beruntung mereka datang lebih awal.

"Gua deg-degan deh, lu aja dah yang bukain. Gua gak siap," ujar Cita dengan panik.

Adhara lalu duduk dikursi dan mulai memasukan nomor mahasiswa Cita sebagai yang pertama. Dilihatnya Cita yang menutup matanya, tanda bahwa gadis itu benar-benar takut.

Ide jahil terlintas di otak Adhara. Ia lalu berdehem sebentar, kemudian mulai melihat layar komputer yang menunjukkan nilai Cita.

Nilai gadis itu cukup bagus, semua lulus. Tidak ada yang harus diulang.

"Yah Cit, mampus aja lu ada yang ngulang." Adhara berucap membuat Cita yang masih menutup matanya menggunakan kedua telapak tangannya pun semakin panik.

"Ah anjir yang bener lu," balasnya.

"Serius gua. Lu ngulang."

"Di mata kuliah apa? Ah anjirrr."

"Mata kuliah.....mencintai Ares!" Ujar Adhara lalu tertawa dengan nada yang pelan karena mereka saat ini sedang berada di perpustakaan.

Cita yang mendengar ucapan Adhara pun dengan segera membuka mata dan memukul kepala belakang sahabatnya itu.

"Ah anjing! Sakit!" Adhara mengaduh sambil memegang kepalanya yang dipukul.

"Bercanda aja lo anjing!" Sahut nya.

"Giliran lo cepet, berapa nilai lo?" Ujar Cita.

Adhara lalu bergantian melihat nilainya, dan ternyata nilai Adhara sempurna.

"Heran gua, perasaan lu gak pernah belajar tapi kenapa nilai lu bagus sih?"

"Udah bawaan lahir pinter gua," jawab Adhara.

"Heleh bau!" Balas Cita.

Keduanya kemudian mencetak hasil semester mereka lalu memutuskan untuk pergi ke kantin guna mengisi perut sebelum akhirnya akan pulang.

Sebelum memasuki kawasan kantin, Adhara merasakan desakan dari kantung kemihnya, ia lalu menepuk bahu Cita beberapa kali.

"Apaansi tepuk-tepuk bahu gua?"

"Kebelet gua, lu duluan aja! Pesenin gua lontong sayur gak pake lontong, terus kerupuk nya banyakin tapi kerupuknya kudu yang pinggiran nya warna ijo, habis itu mau pake telor balado, dan sambelnya banyakin! Jangan lupa minumnya es teh anget! Bye," ujar Adhara lalu pergi.

Cita menatap kepergian sahabatnya dengan bingung.

"Lontong sayur gak pake lontong? Kerupuk pinggiran ijo? Es teh anget? Nih apaansi anjir gak jelas," ujar Cita pada dirinya sendiri sebelum akhirnya memasuki kantin.

Sementara itu Adhara berlari dengan cepat menuju toilet. Setelah berhasil masuk ke dalam toilet perempuan dan menyelesaikan urusannya, gadis itu lalu keluar dengan perasaan lega.

Saat ingin berbelok menuju kantin, ada tangan yang menariknya dan membawanya pergi menuju belakang gedung fakultas.

Dibelakang gedung fakultas, dihempaskan dirinya begitu saja sampai tubuh Adhara bertubrukan langsung ke tembok dengan cukup kencang.

"Kak Ares?" Ujar Adhara ketika melihat orang yang tiba-tiba menariknya dan membawa dia kemari.

"Ada apa kak?" Tanya Adhara dengan hati-hati karena ia melihat dari raut wajah kakaknya itu tidak menunjukkan sisi bersahabat. Wajah Ares benar-benar terlihat sedang sangat marah.

"Ada apa? Bisa-bisanya lu ketawa-ketawa bahagia diatas penderitaan Adhina." Ucapan Ares membuat Adhara bingung.

"Penderitaan?"

"Adhina punya salah apa sama lo sampe lo setega ini sama dia? Gua udah bilang, relain Sagara buat dia. Adhina itu udah-.." ucapan Ares terpotong oleh Adhara.

"Udah nanggung penyakit dari kecil? Udah gak berdaya dari kecil? Itu kan yang mau kakak omongin?" Ujar Adhara dengan berani.

"Lo tau itu, tapi kenapa tetep pertahanin Sagara? Asal lo tau, semalam Adhina hampir bunuh diri! Lo gak pernah tau sepenting apa Sagara di hidup Adhina!  Oh iya lo gak pernah tau, karena yang lo pikirin cuma kebahagiaan lo semata!"

Ucapan Ares membuat hati Adhara sesak. Mata gadis itu berkaca-kaca. Adhara mengepalkan tangannya kuat-kuat, dia lalu maju lebih dekat kepada Ares. Ditatapnya kakak yang dulu selalu ia banggakan itu. Kakak yang sudah berubah menjadi alasan utama Adhara selalu menyakiti dirinya sendiri dan merasa hidupnya tak berguna.

"Lo juga gak pernah tau sepenting apa Sagara dalam hidup gua kak. Lo bilang gua cuma pikirin kebahagiaan gua? 18 tahun gua hidup selalu mendahulukan kepentingan bahagia Adhina , apa gua protes? Enggak ada sama sekali. Apa gua puas dan melakukan dengan senang hati? Iya, karena gua mau Adhina bahagia. Tapi kali ini gua sadar, gua juga butuh bahagia. Dan Sagara adalah kebahagiaan gua kak. Lo khawatir Adhina melakukan percobaan bunuh diri, tapi lo gak pernah tau udah berapa kali gua mencoba akhiri hidup gua karena kalian, dan gua selalu bertahan karena gua yakin akan ada kebahagiaan untuk gua suatu hari. Dan kebahagiaan itu Sagara. Gua tau lo gak suka gua, tapi gua mohon biarin gua bahagia. Kalau lo mau gua pergi, gua bisa pergi dari rumah kak."

Air mata Adhara benar-benar lolos begitu saja. Ares mendengar nya dengan seksama. Dia tidak tau Adhara pernah mencoba mengakhiri hidupnya. Dia tidak pernah tau kalau Adhara bisa serapuh itu.

Belum Ares mengatakan apapun, Adhara sudah lebih dulu pergi meninggalkan kakaknya itu. Ia benar-benar sudah tidak bisa lagi menahan sesak di dadanya. Ia akan pulang lebih dulu dan mengirimkan pesan kepada Cita untuk tidak menunggu nya.

Adhara melangkah untuk cepat-cepat keluar dari area kampus. Air matanya terus mengalir dengan deras. Ia bahkan tidak membalas sapaan orang-orang yang memanggil dirinya. Dia benar-benar terlihat sangat rapuh sekarang.

Beberapa kali Adhara membangun benteng dan diri yang kuat demi menutupi dirinya yang lemah dimata semua teman-teman nya namun hari ini semua benteng dan pertahanan nya hancur begitu saja.

Ketika ingin mengirimkan pesan kepada Cita, ada tangan yang membekap mulutnya dan menariknya dengan kuat memasuki sebuah mobil hingga ponselnya terlepas dan jatuh begitu saja.

Adhara tidak bisa melawan karena cengkraman orang itu begitu kuat. Entah kenapa dalam keadaan mendesak seperti ini beberapa hal yang ia pelajari dalam muai thai tidak bisa ia terapkan. Seakan tubuhnya begitu lemah.

Disisi lain, ada seseorang yang melihat kejadian dimana Adhara dibawa.

"Adhara!!!" Ujar orang itu dengan panik.

To be continue....

Tebak siapa yang culik? Ares atau Adhina? Apa ada sebuah kerja sama didalamnya?

Tebak siapa yang teriak manggil Adhara???

Antara Sagara, Adhara, dan Adhina [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang