+62 813 xxxx xxxx
Gue menjauh, tapi nggak pergi ninggalin Lo
Gue, akan selalu ada buat Lo
Contact me anytime, for example if you need support
Pesan ke sekian dari banyak chat yang Anara terima sejak pagi. Yang di baca hanya dari notif. Pengirimnya, sudah tidak perlu ia pusingkan. Karena dari cara panggilannya saja sudah berbeda. Dan memang hanya itu sosoknya. Yang lain juga tak bukan adalah Rey.
Anara sendiri tidak bisa memungkiri bahwa ia butuh banyak penjelasan. Meskipun sudah menemukan kedamaian lain, gadis itu masih punya puzzle yang harus di lengkapi agar ke depannya bisa benar-benar merelakan beberapa rasa sakit dan trauma yang pernah menimpanya.
Terlepas dari itu, ada hal yang tiba-tiba saja menambah beban pikiran. Tentang, beberapa kalimat yang terakhir kali di lontarkan kepada Rey, untuk mengusir cowok itu. Kalimat itu di katakan nya dengan spontan. Justru karena spontan itulah, kejelasannya harus bisa ia temukan.
Perlahan tapi pasti, tanpa memberatkan, juga sambil mengisi waktu seraya menunggu yang entah akan datang atau tidak, samar-samar mulai ada kemungkinan. Meskipun belum sempurna, tapi setidaknya ada titik temu. Dan hal itu, berkaitan dengan--Anara spontan melirik tangan kanan nya ketika merasakan sesuatu menyentuh, bahkan kini sudah menggenggam. Seketika, pikiran nya tentang sebelumnya pun teralihkan.
"Maaf kalo aku ngagetin." suara ini memberikan kabar bahwa penantian nya membuahkan hasil. "Tangan kamu dingin, padahal cuacanya cerah gini. Gara-gara lama nunggu aku ya."
"Kak--"
"Jangan berbalik." Anara yang sudah setengah memutar kaki, tetap ingin melanjutkan. Tapi, Firash menahan pundak gadis itu. "Aku belum siap tatap mata kamu. Jadi, please, jangan berbalik."
"Baiklah." Anara kembali membelakangi.
"Terimakasih."
"Alangkah baiknya jika segera membahas masalah kita."
"Iya. Tapi, sebelumnya--"
Anara refleks menahan nafas ketika Firash memeluknya dari belakang. Dengan tangan kiri mendekap dada atas, membuat badan nya turut menempel dengan badan kekar Firash. Tangan kanan di perut yang juga tangan kanan miliknya ikut dalam genggaman. Lalu, wajah cowok itu turut bersandar di bahu kirinya.
"K-Kak?"
"--Biarin aku kayak gini, sebentar... aja. Nanti kamu bebas kok hukum aku. Kecuali segala hal yang intinya kamu pergi. Atas dasar apapun itu, aku nggak akan pernah mau terima."
Anara tidak langsung jawab. Melainkan mencoba mencari ketenangan. Di perlakukan seperti ini, membuat rasa gugupnya naik, sehingga jantung nya berdetak terlalu kencang. Setelah di rasa tenang, barulah ia menjawab.
"Ya udah, baiklah. Jadi, ayo kita bahas. Mau mulai dari mana?"
"Hm... hm... aku tau aku nggak tau malu. Tapi, boleh aku minta sesuatu lagi?"
"Apa?"
"Bahasnya berdasarkan aku aja mau gimana."
"Selama itu bisa membuat selesai secepat mungkin, silahkan."
"Tapi sekarang aku maunya gini aja. Pe-peluk kamu. Tapi pasti di bahas kok. Tapi sekarang pengennya--"
"Ya udah, iya." potong Anara. Bukan karena kesal, tapi jadi gemas sendiri. Firash ingin sesuatu, tapi rasa takut dan tidak enaknya tetap terjaga. "Nggak pa apa peluk aja."
"Terimakasih."
"Hm..."
Setelah percakapan singkat itu, suasana kembali hening. Sesekali terdengar tawa kecil dari arah belakang yang mungkin saja pelajar lain, lalu tak lama lenyap di gantikan suara kaki yang berlari. Lalu alam, yang setia dengan angin sepoi-sepoi, matahari yang mulai mengurangi sinar, tanda bahwa sore hari akan datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRAETERITA [Complete]
Teen Fiction_____ GENRE : Fiksi Remaja ____ Firash Miftahul Rashad. Cowok yang menjelma sebagai pentolan kelas sebelas itu tiba-tiba datang dengan segala karakter yang baru pertama kali Anara temui. Satu hal yang membuatnya istimewa adalah kejujuran yang terpa...